Views: 28
Jogja memang istimewa. Termasuk juga jalur gowesnya.Kali ini yang istimewa adalah gowes Sejarah Mataram, untuk ngobrol ngalor ngidul mengenai Cerbung Trah Brawijaya yang seru di WAG kami, sambil gowes kota dengan jalur yang ramah, ringan dan menawan. Menarik atas keunikan Jogja dan keramahannya. Melalui gang-gang sempit pemukiman lama dengan aneka keistimewaannya yang membedakan. Kami akan menyusuri Jalan Malioboro dengan spot foto di Teras Maliboro, masuk ke jalur si perumahan di Jalan Kauman yang berliku-liku sempit lengkap dengan gudeg yu Hadi,lanjut menyusuri benteng kraton, wisata menyusuri kali Gajahwong dengan ikon bendung Lepen, menyusuri jalur eksostik “single track” di Kotagede dan berakhir di Masjid Agung Mataram Kotagede di dekat makam pendiri Mataram, Panembahan Senopati.
Kami janjian kumpul di Tugu Pal jam 06:00. Delapan goweser berkumpul tepat waktu, dan kami berangkat ke arah Selatan. Hari ini saya akan mengajak beberapa teman untuk mengulang jalur gowes Sabtu sebelumnya bersama teman-teman dari CVX yang diantar mas Adji dari Hotel Santika Premiere Jogja.
Awal berjalan dari Tugu menyusur jalan Mangkubumi ke arah Jalan Maliboro sudah ditunggu puluhan fotographer di kiri dan kanan jalan dengan kamera-kamera serius. Benar juga, hari belum beranjak siang, foto-foto dari para juru potret itu sudah bertebaran ada di fotoyu..banyak banget. Nice innovation for fun.

Menyeberang rel kereta api Timur stasiun Tugu dengan berjalan kaki, kami masuk ke Jalan Malioboro yang sudah ramai dengan para pejalan kaki dan pejoging di hari Kamis pagi ini. Malioboro yang tetap menarik pendatang untuk menikmati suasananya.

Sekitar satu kilometer kami menyusuri jalan Maliboro, kami berbelok ke kanan masuk ke satu bangunan, Teras Malioboro. Pusat penjual kaki lima pernak pernik khas Malioboro dan makanan-makanan. Juga spot-spot untuk berfoto dengan tulisan khas Jogja. Istimewa.



Perjalanan berlanjut menuju arah KM NOL Malioboro, menyeberang ke Selatan menuju Alun-Alun Utara yang sudah tertutup pagar keliling, dan hanya bisa dinikmati dari jalan raya. Setiba di Alun-alun Utara kami belok kanan, mengelilingi seperempat alun-alun dan masuk jalan Kauman. Gang pertama ke kanan, kami masuk, jalan masjid Gede melalui gapura kecil yang tidak bisa dilewati mobil.
Berfoto-foto di depan gapura, sebelum melanjutkan kayuhan melalui jalan setapak Gang Monumen Syuhada sampai simpang Gang HM Sarbini. Bertemu gudeg Yu Hadi di simpan gang itu.


Hari masih pagi, kami memutuskan lewat saja dulu gudegnya. Kami lanjut berjalan menyusuri Gang HM Sarbini ke arah Selatan menuju jalan utama, Jalan Kauman lagi, dan belok kanan menuju Jalan Ngasem. Terus ke Selatan menyusuri jalan Ngasem sampai pasar Ngasem, kemudian belok ke kanan(Timur) mengikuti jalan Taman, yang kemudian berbelok mengikuti jalan Taman ke arah Selatan sampai tiba di Simpang Jalan Ngadisuryan, dan berbelok ke kiri menuju ke Alun-Alun Selatan yang sudah ramai dengan para penikmat olah raga.

Setiba di Alun-alun Selatan kami belok kiri sedikit, kemudian belok kanan, belok kanan lagi menyusuri Alun-alun, dan lanjut masuk ke kiri atau ke Timur di Jalan Langenanstran Lor dan jalan jalan Namburan Lor sampai mentok Benteng Kraton.
Benteng Kraton yang baru saja selesai direnovasi berdiri kokoh berwarna putih di tepi jalan memberikan suasana terlindung dan rasa di dalam. Kami berbelok kiri dari tempat kami datang, berjalan ke arah Utara sampai ketemu jalan Mantrigawen Lor, belok kanan ke Arah Timur masuk ke jalan Brigjen Katamso, dengan berbelok ke kanan, ke Arah Selatan.
Berjalan ke arah Selatan menyusuri jalan besar, Jalan Brigadir Jendral Katamso, sampai ketemu simpang tiga, dan belok ki kiri, atau ke Arah Timur memasuki Jalan Kolonel Sugiono. Terus ke Timur sampai masuk jalan Menteri Supeno. Perjalanan berlanjut ke Timur melalui jalan Menteri Supeno yang cukup padat lalu lintasnya. Sampai simpang empat Jalan Batikan, kami terus lanjut lurus ke Timur mengikuti Jalan Mentei Supeno. Sampai ke pertigaan lampu merah berikutnya, kami belok ke kanan, memasuki Jalan Pramuka, yang jalannya agak serong ke kanan, bukan pertigaan tegak lurus.
Kami berjalan mengikuti Jalan Pramuka sampai ketemu dengan simpang jalan Gambiran, dan jalan Pramuka agak berbelok ke kanan, ke arah Selatan. Kami ikuti jalan Pramuka arah Selatan ini, sampai ketemu Jalan Tegal Gendu, dan kami masuk ke kiri, masuk jalan Tegal Gendu yang juga agak miring arah Tenggara.
Tempat Wisata Bendung Lepen
Perjalanan berlanjut di jalan Tegal Gendu sampai menemukan gang kecil masuk ke kanan, agak miring menyusuri Sungai Gajahwong. Terus berjalan di sepanjang tepi sungai Gajahwong sampai tiba di Tempat Wisata Bendung Lepen.
Tempat Wisata Bendung Lepen ini unik. Saya sendiri baru tahu di sini ada Bendung untuk aliran irigasi. Lokasinya di Kampung Mrican, Giwangan, Umbulharjo, Yogyakarta. Saya belum tahu persis namanya, Bendung Lepen atau Dam Mrican, karena di google tertulis dua nama itu. Namun di lokasi yang tertulis adalah bendung Lepen.
Tempat Wisata Bendung Lepen sendiri dulunya merupakan tempat yang “kumuh” dengan taman desa yang kurang terurus, sebagai hulu saluran irigasi yang mengairi sawah-sawah di daerah Bantul. yang tidak sebersih sekarang ini. Namun, kesadaran para warga akan kebersihan lingkungan mengubah kali (sungai/lepen) yang semula begitu kotor menjadi tempat wisata yang disenangi banyak orang.


Mas Tribudi ahli sungai kami bercerita mengenai program M3K (Mundur, Munggah, Madhep Kali) yang diusulkan dan menjadi Program PUPR dan juga kota Yogyakarta. M3K adalah gerakan yang bertujuan untuk menata kawasan bantaran sungai. Gerakan ini menekankan pada tiga prinsip: memundurkan bangunan, menaikkan bangunan ke tempat yang lebih tinggi, dan menghadapkan muka bangunan ke arah sungai.
Mundur artinya rumah dimundurkan sejauh 3 meter dari talud sungai. Tujuannya agar bangunan menjadi teratur sesuai dengan ketentuan Rencana Tata Ruang, tingkat kepadatan bangunan yang tinggi memenuhi persyaratan teknis bangunan, tersedia ruang jalan lebar 3 m cukup untuk ambulan dan mobil pemadam kebakaran masuk,dan cukup untuk melakukan evakuasi saat bencana terjadi
Munggah artinya Rumah naik lebih tinggi dari jalan pinggir kali sehingga apabila terjadi bencana banjir tidak mengakibatkan air kali masuk ke perkampungan warga
Madhep Kali artinya Menjadikan kali sebagai halaman depan, sehingga harus akan selalu di jaga kebersihannya. Kali yang bersih akan bisa bermanfaat menjadi sumber air bersih, wisata perikanan dan irigasi.

Konsep sederhana, sungai bukan di belakang rumah, namun sungai berada di depan rumah yang perlu bersih iuntuk dinikmati. Bendung Lepen sekarang menjadi indah dan dipenuhi ikan nila dan gurame. Jika dulunya hanya menja tempat yang tidak terurus dan kumuh, sekarang ini Bendung Lepen menjadi destinasi wisata yang nyaman dikunjungi bersama keluarga. Kita bisa membeli pakan ikan, dan sambi duduk santai memberi makan ikan-ikan di air lepen yang jernih.
Kami meninggalkan kawasan Bendung Lepen dengan tetap menyusuri bantaran sungai, kemudian naik ke jembatan. Menyeberang ke sisi lain dari sungai Gajahwong
Jalur Eksostik Kotagede
Kami sangat beruntung gowes bersama mas Indul yang hapal jalur unik di Kotagede ini. Jalur single track, yang lebarnya sekitar satu meter berlika liku diantara rumah-rumah pemukiman. Benar-benar kami berjalan satu persatu melalui depan rumah pemukiman, kadang berada diantar dud tembok rumah, dengan tikungan-tikungan 90 derajat dengan lebar yang sama, satu meteran.
Kadang bisa dijalani dengan dikayuh, kadang ya perlu ngesot, bahkan dituntung untuk bisa melewatinya. Sepanjang melalui jalur eksostik ini, banyak diskusi mengenai Alas Mentaok. Meyakini bahwa dulu area ditempat kami lewat ini adalah satu hutan lebat yang ditakuti orang pada jamannya, yang pada waktu itu dihadiahkan oleh Sultan Hadiwijoyo ke ayahnya Panembahan Senopati.



Dan Panembahan Senopati beserta ayahnya dan beberapa orang pengikutnyalah yang pada awal mulanya membuka area Alas Mentaok ini, yang menjadi cikal bakal kerajaan Mataram. Dan saat ini kami bersepeda di tempat ini, alas mentaok yang menjadi pemukiman lama, yang sangat padat penghuninya.

Masjid Mataram dan Makam Panembahan Senopati
Salah satu tujuan utama gowes kami hari ini adalah Masjid Mataram Kotagede, yang juga berdekatan dengan Makam Panembahan Senopati.
Bang Yos ahlinya sejarah Mataram kami banyak bercerita mengenai tempat ini. Beliau menyampaikan tempat ini sebelumnya adalah Kraton Mataram yang dibuat pada waktu itu, dan sekarang menjadi makam Panembahan Senopati.





Di area ini dimakamkan juga Ki Ageng Mangir Wanabaya. Makamnya Ki Ageng Mangir Wanabaya setengah bagiannya berada di dalam dan setengah bagian lainnya berada di luar karena Penembahan Senopati menganggap Ki Ageng Mangir Wanabaya sebagai menantu sekaligus sebagai musuh.
Kami berkeliling sampai di depan area makam sambil terus mendengarkan dongengan bang Yos. Sebagian dari kami bisa nyambung, terutama yang mengikuti cerbung Trah Brawijaya yang tiap hari diposting bang Yos di WAG kami.
Petilasan watu Gilang dan Watu Gatheng
Sebelum kami melanjutkan perjalanan menuju Sate Kambing Gumuk tempat sarapan, kami mampir dulu ke petilasan Watu Gilang dan Watu Gatheng.
Bang Yos bercerita bahwa Watu Gilang ini dulunya adalah singgasana dari Panembahan Senopati saat memimpin Kasultanan Mataram. Batu ini mberupa batu andesit yang berwarna hitam dan berbentuk persegi dengan ukuran 2 m x 2 m, dibawa dari hutan Lipuro yang saat ini dikenal dengan nama Kecamatan Bambanglipuro di kabupaten Bantul
Ceritanya di atas batu ini juga Danang Sutawijaya, yang merupakan nama Panembahan Senopati saat kecil, mendapatkan wangsit melalui Lintang Johar. Di batu ini terdapat cekungan, kabar ceritanya, cekungan adalah lokasi saat Panembahan Senopati membenturkan kepala musuh sekaligus menantunya yang bernama Ki Ageng Mangir Wanabaya hingga meninggal dunia.
Di dekat petilasan Watu Gilang, kami melihat ada dua pohon beringin besar. Saya membayangkan, ini adalah dua pohon beringin yang diceritakan dalam cerbung Trah Brawijaya yang menjadi acuan lokasi untuk berkumpul, dan menjadi pusat pembangunan area itu pada saat itu. Dan juga menjadi tempat beristirahata berteduh para pembuka alas Mentaok.


Perjalanan bersama kami akhiri dengan makan bersama di Sate Kambing Kambing Gumuk. Kami sampai di Sate Gumuk hampir jam 08:00 pagi, dan suasana masih sepi, meskipun sudah ada juga satu pelanggan lain yang menunggu. Dan kami menikmati tongseng dan thengkleng, sambil melanjutkan diskusi Alas Metaok, Ki Ageng Mangir, Panembahan Senopati dan Kerajaan Mataram.


Berkah Dalem
Gowes Mataram 1 Mei 2025