Views: 54
Kemarin sore, saya berdiri di tepi jalan di seberang Pasar Sayuran Cepogo Boyolali. Saya berdiri untuk menyeberang jalan, menunggu sedikit longgar jalanan dari arus mobil dan motor yang cukup ramai di jalan depan pasar yang tidak semulus tahun lalu saat kami melewatinya, dalam rangka Gowes Merdeka Merapi 2015.
Saat fokus menunggu celah untuk menyeberang, saya tertegun dengan pemandangan yang asing. Dari arah kiri saya berdiri, jadi dari arah Selo, hadir satu pickup sarat dengan muatan yang ditutupi terpal. Kemungkinan besar isinya sayur-sayuran, lha wong mau masuk pasar Sayuran..
Pickup warna hitam tersebut berjalan pelan, untuk bersiap-siap memasuki pasar. Saat pickup masih berada di jalan utama di depan pasar, ditengah arus lalu lintas yang padat, saya melihat kurang lebih dua puluh orang ibu-ibu dengan berkalung selendang, entah memakai alas kaki atau tidak, saya lupa memperhatikan, berlari-lari mengelilingi pick-up sambil berteriak-teriak dan tangannya menggapai-nggapai ke bak pickup yang sarat muatan tadi.
Mereka terus berlari disekeliling pickup, tangan-tangan mereka berlomba-loba meraih muatan di dalam pickup. Terus berlari dengan posisi tersebut sampai pick-up memasuki pasar.
Saya benar-benar tertegun dan merinding.
Saya bertanya ke teman, apa yang mereka lakukan….Mereka berebut untuk memberikan jasa menurunkan muatan dari pickup tersebut.
Duh Gusti Allah, berilah mereka kekuatan dan kesehatan selalu…..
Aku berfikir, apakah memang harus seperti itu, berebut, berlari-larian di tengah jalan yang padat lalu lintas, padahal kalau diatur dengan sistem antrian, bergantian, khan lebih nyaman…
Di perjalanan pulang, diatas pickup yang lain bersama sepeda-sepeda kami, berdua dengan mas Jonhset, kami ngobrol tentang fenomena tersebut, tentang “budaya” kita saat ini yang banyak melakukan kegiatan “berebut” di berbagai sendi kehidupan, baik di dunia nyata maupun dalam upacara-upacara, bahkan termasuk di acara perkawinan.
Apakah memang harus seperti itu, berebut, seakan semua hal perlu diperebutkan. Sangat jauh dari mental dunia yang berkelimpahan, yang selalu ada dan tersedia untuk kita. Bahwa ketika ada orang lain mendapatkan sesuatu, bukan berarti hal itu menghabiskan bagian kita. Tuhan menyediakan bagian untuk kita masing-masing berkelimpahan.
Dan cara mendapatkan, dengan kebiasaan antri, memerlukan pendidikan sejak dini. Satu hal yang sangat saya ingat waktu hari pertama Mita masuk di pendikan pre-school, hari pertama acaranya “hanya” belajar antri. Antri, berbaris untuk satu persatu memasuki toilet, dan antri berbaris untuk satu persatu memasuki kantin sekolah…