Skip to content

Gria Gowes Homestay

Homestay di Yogyakarta

  • Home
  • Blog
    • Homestay
    • Leluhur
      • Wonodikromo
      • Setromenggolo
    • Rute Gowes
    • Soft skill
  • Home Addicts
  • Youtube
  • Contact Us
  • About Us
  • Buy Adspace
  • Hide Ads for Premium Members
  • Toggle search form

Belajar dari Mengayuh Sepeda di Jalan Menanjak ke Turgo

Posted on April 5, 2014October 20, 2016 By No Comments on Belajar dari Mengayuh Sepeda di Jalan Menanjak ke Turgo

Views: 115

Mendaki Bukit di Tepi Sungai Boyong
Mendaki Bukit di Tepi Sungai Boyong

Monjali ke Turgo, jalan terus menanjak sejak titik keberangkatan, bahkan mulai dari Pulowatu, tanjakan menjadi semakin kejam menguras nafas.

Jauh dari nyaman situasinya jika dirasakan capeknya, bahkan bisa dikatakan merupakan suatu penderitaan berkepanjangan saat mengayuh sepeda menanjak seperti itu, jika hanya dirasakan beratnya saja. Beraneka perilaku dari teman-teman gowes dalam penaklukan tanjakan ini, ada yang langsung tancap saat di awal, dan kemudian di sepanjang perjalanan banyak istirahat, yang lain ada yang gowes pelan tapi pasti, terus mengayuh tanpa henti, ada pula yang sambil “misuh-misuh, sambil tertawa-tawa”, menertawakan penderitaannya.

Beraneka ragam pilihan dan perilakunya, namun satu yang sama, yaitu semua teman terus memilih mengarahkan sepeda, mengayuh sepeda ke atas, ke arah Turgo. Tidak ada satupun yang memutuskan untuk berbalik arah, meskipun hal itu sangat mudah dilakukan oleh siapapun, karena begitu membalikkan arah sepeda, sepeda akan langsung mengarah ke bawah, ya sudah…tinggal nangkring di atas sadel,  tanpa perlu mengayuh, sepeda akan membawa ke Yogya, jalannya lurus, menurun terus…bablas. Dan ajaibnya, tidak ada yang memutuskan pilihan mudah itu. Semua tegas lanjut naik.

Dan ketika tiba di puncak  di tujuan, di warung makan sederhana mas Herry, wow…rasa bangga, rasa puas, rasa lega,  menghapus semua rasa lelah, saling berbagi cerita, saling menertawakan gembira, termasuk menertawakan diri sendiri, saling mengkomentari perilaku satu sama yang lain, juga “kesengsaraan” diri sendiri dalam penaklukan itu…..Lupa semua penderitaan saat mendaki.

Belajar makna hidup dari bersepeda

Sabo Boyong (Photo by: Pak Djoko Luknanto)
Sabo Boyong (Photo by: Pak Djoko Luknanto)

Aku membayangkan, jika saat mengalami penderitaan dalam hidup, aku tetap semangat menjalani jalan itu dengan riang gembira, dengan tetap menapaki dengan penuh semangat, dengan terus meyakini keindahan kebahagiaan di puncak perjalanan yang mendaki itu, pasti akan menjadikan hidupku sebagai hidup  yang selalu menyenangkan. Persis seperti ketika sedang bersepeda di jalan menanjak.

Saat berjalan di jalan yang menanjak, aku mensikapi dengan mengakrabi dan menyenanginya, kemudian menempatkan “penderitaan” menjalani jalur menanjak tersebut dalam kerangka berkat. Sering kita berusaha mencari jalur-jalur sepedaan yang menanjak, karena kita yakin, di puncak jalan yang menanjak, ada pemandangan yang indah, yang menjadi berkat bagi kita, dan tanpa kita menyadari, kita menjadi terus semakin tangguh dan lebih kuat dalam bersepeda.

Nah, saya akan berusaha untuk menanggapi penderitaan hidup dengan cara persis seperti bersepeda itu, menjadi akrab dengannya, dan memandang dalam kerangka berkat,  bukan kutuk atau hukuman. Kayaknya aneh yaaa, karena biasanya saat menghadapi penderitaan, reaksi pertama adalah berusaha menghindarinya, atau paling tidak berusaha untuk menjauhi, mengelak. Setiap penderitaan yang kita alami, adalah bentuk gangguan yang tidak menyenangkan, sangat sulit untuk melihat sebagai sesuatu yang positif  pada suatu penderitaan.

Kembali, seperti bersepeda di jalan yang menanjak, saya bisa memilih memiliki keberanian untuk merangkul kebenaran bahwa penderitaan  adalah suatu kenyataan yang perlu kita akrabi, membuat musuh yang mengerikan menjadi sahabat kita, dan memeluk sebagai sobat yang akrab. .

Saat jalan menanjak, kita sangat terbantu oleh teman-teman seperjalanan, yang saling mensemangati, baik lewat kekuatan mereka yang melebihi kekuatan kita, maupun lewat kelemahan mereka, yang lebih banyak beristirahat dari pada kita. Semuanya menjadikan kita lebih terdorong untuk menaklukkan tanjakan. Dan begitu juga dalam menghadapi penderitaan hidup dan menjalaninya, kita juga memerlukan teman, memerlukan kawan seperjalanan, yang bisa membantu agar kita tetap tegak menjalani dan menyakinkan diri kita bahwa ada damai, ada suka cita di balik segala kecemasan. Ada kehidupan kekal di balik kematian, dan ada kasih dibalik rasa ketakutan kita.

Bahagia Bersama di Puncak Bukit di Tepi Kali Boyong
Bahagia Bersama di Puncak Bukit di Tepi Kali Boyong

Yang lemah maupun yang kuat, yang sedang menderita maupun yang sedang bahagia, semuanya bisa menjadi berkat bagi orang lain, dengan cara menjalaninya dan mensikapinya dengan penuh suka cita, penuh kegembiraan. Satu contoh yang sangat nyata, seorang yang menderita bisa menjadi berkat bagi orang lain  adalah kedua orang tua Ade.  Sebagai orang tua yang hanya memiliki satu orang putri, yang dibunuh oleh teman-temannya, kedua orang tua Ade mampu memaknai penderitaan ini sebagai bagian dari berkat Tuhan, dan membagikan berkat tersebut bagi orang lain dengan cara memaafkan pelaku pembunuhan. Satu hal yang sangat sulit untuk dengan cepat diterima oleh akal sehat pilihan memaafkan yang diambil kedua orang tua yang sedang menerima penderitaan itu. Namun itu nyata ada dan bisa, dan menjadi contoh berkat bagi orang lain.

Sebaliknya, contoh seorang yang lebih kuat, yang sedang berada di samping orang yang sedang menderita, bisa juga menjadi berkat bagi orang lain. Saat melakukan penaklukan di jalan yang mendaki, teman yang kuat ini, dengan suka rela, dengan senang hati mengalahkan keinginan diri untuk mencapai puncak tujuan dengan cepat dan dengan seru berfoto-foto di puncak sambil menunggu temannya yang belum tiba.

Mendaki Bersama
Mendaki Bersama

Teman satu ini memilih untuk berbela rasa dengan teman yang sedang mengalami kram, untuk jalan bersama, mendukung untuk bisa bersama-sama mendaki, untuk bersama-sama mencapai tujuan di puncak.

Sangat indah , sangat nyata bahwa semua orang, dalam situasi dan kondisi apapun, saat lemah maupun saat kuat, saat menderita maupun saat bahagia, bisa memilih untuk memandang segala sesuatu yang terjadi dalam hidupnya dalam kerangka berkat, bukan kutuk, dan memilih untuk mampu menjadi berkat bagi orang lain, untuk menciptakan surga di dunia ini, saat ini,  bagi orang lain.

Semua yang kita hadapi, baik itu penderitaan atau kebahagiaan, sakit atau sehat, sedih maupun gembira, semuanya merupakan bagian dari peziarahan kita menuju keutuhan kita sebagai ciptaan Tuhan. Seperti bersepeda, kalau kita tidak pernah bersedia melalui jalan yang menanjak, kita tidak akan bisa lebih baik lagi, lebih utuh lagi menjadi pesepeda yang lebih baik, mengalami banyak hal yang lebih memperkaya hidup.

Ayo terus bersepeda, ayo terus belajar dan  berusaha untuk terus mengambil kesempatan yang diberikanNya untuk melakukan kebaikan dalam situasi dan kondisi apapun.

Blog, Gaya Hidup Sehat, Gowes Tags:bersepeda di jalan mendaki, Gowes di Yogya, hidup menjadi berkat bagi orang lain, memilih untuk menjadi berkat

Post navigation

Previous Post: Gowes ke Warung Ijo, Plunyon dan Kinahrejo
Next Post: Pilpres 2014 Memilih untuk Bersyukur

Leave a Reply Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.




Gria Gowes Map

Blog Traffic

Pages

Pages|Hits |Unique

  • Last 24 hours: 0
  • Last 7 days: 0
  • Last 30 days: 0
  • Online now: 0
garcinia cambogia effets secondaires

Recent Posts

  • Gowes Mataram di Yogyakarta
  • Nandan dan Kuda
  • Kerinduan yang Sama
  • Gowes Tol Kahyangan Gunung Merbabu

Copyright © 2025 Gria Gowes Homestay.

Powered by PressBook WordPress theme