Views: 31
Duduk membungkuk di tepi trotoar jalan raya laksana karung goni beras, ndeprok, nglemprok. Sedikit lebih tinggi dari tenggok penyimpan jualannya yang teronggok di depannya. Tubuhnya kecil, kurus, lemah dibalut kulit yang sudah sangat keriput. Hanya matanya yang tajam menatap dibalut oleh kerut-kerut wajah yang sangat tua, yang menjadikan matanya terlihat mencolok dan sangat berbeda, menunjukkan semangatnya yang luar biasa.
Aku hanya sekilas menatap dari ekor mataku, sebentar memperhatikan simbah tua di pinggir trotoar itu. Dan karena hanya tumpukan tempe yang kulihat, aku berkesimpulan simbah ini jualan tempe, di pagi hari di tepi jalan saat perjalananku jogging pagi belum lewat seribu meter dari rumah.
Segera satu pertarungan kecil terjadi pada otak dan rasaku, pertikaian antara dua hal pada diriku. Hal yang satu pada diriku berkeinginan untuk memberi perhatian kepada simbah penjual tempe itu, dan aku merogoh sakuku ada uang lima puluh, sepuluh dan lima ribuan, yang bisa kugunakan untuk sarana lebih mengenal simbah itu, dengan membeli tempenya.
Hal yang lain menolak keinginan itu, yang terus memberiku justifikasi untuk terus berjalan melanjutkan rencana awalku untuk jogging mengelilingi wilayah daerah tempat tinggalku. Dia membisikiku untuk terus berjalan,…”khan kamu pingin sehat, terus jalan, jangan terganggu”…” khan repot kalau kamu jalan-jalan sambil bawa tempe” ….”simbah itu khan sudah biasa jualan disitu, pasti sudah banyak pelanggannya”.
Dan aku berjalan terus, dan melupakan simbah itu, berjalan dengan tenang menikmati suasana pagi yang sudah tidak begitu sepi lagi di daerah Nandan dan Pogung ini.
Ternyata memang aku tidak bisa melupakan simbah itu, saat hampir melewati gang masuk ke arah rumah, aku memutuskan untuk memutar lebih jauh untuk bisa melewati tempat duduk simbah tadi, dan aku sudah memutuskan untuk membeli tempenya.
Ups….simbah sudah tidak ada di tempatnya yang tadi, sudah kosong. Eh, sekitar seratus meter di depanku kulihat seorang tua yang sudah sangat bungkuk, berjalan nggremet, sangat perlahan, bongkok menggendong tenggok, bakul penyimpan dagangannya dengan disangga oleh potongan jarik, dan tangan kiri simbah menopang di bawah tenggok, untuk mengurangi beban di punggung, dan tangan kanan simbah membawa tas plastik.
Kaki yang sangat lemah beralas sandal jepit, dengan jari-jarinya yang sudah mekrok, melebar seperti bebek, terseok-seok perlahan-lahan berjalan sangat lambat….
Kembali pertarungan pada diriku terjadi, antara keinginan untuk membeli tempe simbah, dan untuk membatalkan keinginan untuk membeli…”khan repot kalau menghentikan simbah yang sudah berjalan”, ..”khan malu dilihat orang, kalau beli tempe simbah”..
Dan aku memutuskan menyapa simbah itu, “jualan tempe mbah, saya beli yaaa”. Simbah menjawab singkat, “ya”, sambil tolah-toleh mencari sesuatu, dan selanjutnya berjalan memutar kembali ke arah dia datang, aku mengikuti tanpa tahu simbah mau kemana.
Saat melewati penjual makanan di tepi jalan, penjual makanan menawari simbah itu, “sini mbah, duduk di kursi saya”, simbah menolak dan terus berjalan, sampai sekitar sepuluh meter, simbah menepi, dan ternyata simbah mencari tembok pagar setinggi kira-kira satu meter, untuk meletakkan tenggoknya, agar di bisa melepaskan tenggok dari gendongannya tanpa harus membungkuk…simbah sudah tidak kuat lagi untuk membungkuk menurunkan tenggok di tempat yang rendah.
Aku pegang tenggoknya, dan bilang, “sini mbah, kupegangkan”. Simbah menolak dengan tegas, “mboten sah, saya bisa sendiri”, dan simbah menghadapkan pantatnya ke tembok, dan meletakkan tenggok di atas pagar, melepas jarik pengikat tenggok. Aku hanya diam menatap, tanpa menolong. Dan ternyata isi tenggok tidak hanya tempe, tapi ada bermacam-macam barang dagangan, seperti tempe, lombok dan sayuran
“Tumbas pinten?”, tanya simbah. Aku ingat aku punya lima belas ribu, dan aku bilang, “lima belas ribu mbah”. Simbah mikir sejenak, komat kamit menghitung, dan di bilang “sejinah tigang ewu, dados angsal seket”. Simbah memberiku tas plastik, tas kresek untuk kupegang, dan simbah mulai memasukkan tempenya lima-lima, menghitung.
Waktu hitungan mencapai empat puluh, tempe kulihat habis, dan aku bilang, “sampun cekap mbah, dan kuberikan uangku kepada simbah”. Dan simbah itu bilang tegas ” tasih kurang, sekedap kulo jangkepi”. Dan aku tetap bilang ” sampun mbah, cekap, matur nuwun”. Dan aku pergi meninggalkan simbah penjual tempe tanpa menengok lagi.
Sangat kontradiktif membandingkan simbah tua ringkih di tepi trotoar, yang semangat menyala berjualan, dengan banyak orang-orang yang jauh lebih muda dan jauh lebih kuat yang berada di tengah-tangah jalan di simpang lampu merah di dekat simbah ndeprok, yang hanya mengatungkan tangan, mengemis, meminta belas kasihan pengemudi.
Berkaca pada kisah Tuhan yang berencana menghancurkan suatu kota yang sudah penuh dosa, dan kemudian membatalkan rencananya tersebut karena ada sepuluh orang saja yang baik, aku membayangkan simbah ini adalah satu dari tiang kota ini, yang terus menjaga kota ini kokoh berdiri. Simbah yang ringkih menjadi penangga kota yang kokoh, dengan nyala lilin menerangi kegelapan sekitar. Simbah menjadi pengkotbah berjalan yang terus menghadirkan wajah Tuhan.
God bless you mbah….