Views: 192
Nama “besar” tanjakan Pangang sudah lama saya dengar sebagai tempat gowes yang menyenangkan bagi penggemar tanjakan-tanjakan tajam, dan ternyata memang sangat mengasyikkan menapakinya. Tanjakan hampir setinggi 400 meter dari pantai Parangtritis dengan jarak sekitar 5km, sungguh tempat yang tepat untuk mempraktekkan mantera pak Bambang “iki sing tak goleki”, saat menyongsong tanjakan-tanjakan yang seakan tak ada ujungnya.
Ajakan mas Indul dan dr. Hariyanta yang sedang mempersiapkan diri untuk ikut serta dalam event Bromo beberapa waktu yang akan datang, dan terus mencari tempat-tempat gowes yang nanjak-nanjak menjadi tantangan yang menyenangkan.
Setelah hari Sabtu minggu yang lalu bersama kami menapaki tanjakan-tanjakan panjang Samigaluh menuju kebon teh Nglinggo yang super cantik, Sabtu ini kami janjian untuk melalui tanjakan Panggang, yang akan menjadi pengalaman pertama saya di tempat ini.
Hari masih gelap, ketika mataharipun masih meneruskan tidurnya menikmati goyangan terakhir saat jam menunjuk pukul 05:00. Agak ragu saya keluar dari rumah,sampai nggak PD apakah bener sudah jam lima koq masih gelap. Dan ternyata pagi itu perubahan dari gelap ke terang berjalan sangat cepat. Sekitar jam 05:15 saat tiba di Tugu, tanpa sadar hari sudah terang, dan bang Yos dan dr.Hariyanta yang selalu disiplin pada jam janjian sudah duduk di kursi sisi Timur Selatan Tugu.
Tugu Yogyakarta semakin cantik untuk menjadi tempat janjian dan berfoto-foto. Juga pagi itu selagi kami menunggu teman-teman lain sampai jam setengah enam, sudah berdatangan para wisatawan untuk berfoto-foto di Tugu Yogyakarta.
Tugu Yogyakarta-Pantai Parangtritis
Jam setengah enam lebih sedikit kami berdoa bersama dipimpin bang Yos untuk memohon keselamatan perjalanan kami, dan segera go go go, menyususri jalan Mangkubumi, jalan Malioboro, KM 0, menyusur alun-alun Utara menuju pojok beteng Wetan dan lanjut menikmati jalan mulus yang terus menurun menuju pantai Parangtritis.
Sepanjang jalan Parangtritis mendung terus menemani kami, bahkan di pertengahan perjalanan hujan deras terus mengguyur sampai pantai Parangtritis. Jarak sekitar 30km kami lalui dengan sangat nyaman karena memang aspal mulus, elevasi terus agak menurun dari Yogya sampai ke pantai Parangtritis.
Pemandanangan bukit tinggi di depan kami yang nanti akan kami tanjaki seakan terus tersenyum mengundang kami. Pantai Parangtritis kami temui melewati ujung Barat bukit tersebut, tanpa perlu menanjak.
Parangtritis-Puncak tanjakan Panggang
Setelah istirahat sebentar, dan mengantar bang Yos dan mbak Noer yang akan kembali ke Yogya karena ada keperluan lain, kami berenam di bawah rintik-rintik hujan yang terus setia menyejukkan, melanjutkan perjalanan meninggalkan pantai Parangtritis, lurus ke depan searah jalan kedatangan kami tadi.
Tanjakan pertama yang terjal langsung kami temui, selepas pantai. Kiri dan kanan jalan banyak tempat menginap yang beberapa diantaranya nampak sudah tua, yang menunjukkan bahwa memang sudah lama Parangtritis menjadi tempat wisata pilihan di sisi Selatan kota Yogya.
Tanjakan-tanjakan tajam terus kami jumpai dengan selingan jalan datar sedikit yang memberi saya kesempatan leyeh-leyeh sebentar di atas sepeda sambil terus memutar pedal. Mantera sakti pak Bambang terus saya gemakan di kepala saat tanjakan tersenyum di depan kami. “Iki sing tak goleki….” atau “inilah yang aku cari…”. Ketika menapaki tanjakan mantra tersebut menjadi motivasi pribadi yang bagi saya sangat ampuh. Ternyata memang hal yang berat menjadi ringan untuk dilalui saat saya mencintainya…..
Tulisan pal di pinggir jalan yang mengatakan Panggang 14km, sekilas membuat keder, saat menbayangkan 14km akan mendaki terus menerus seperti ini. Rasanya cukup lama ketika tiba di pal jalan yang bertuliskan Panggang 13 km, satu kilometer yang sangat memerlukan tenaga untuk menapakinya.
Selepas pemandangan penginapan-penginapan di sisi kiri dan kanan jalan, segera hiasan sawah-sawah bertingkat menghijau menjadi penyejuk mata dan jiwa menikmatinya. Stigma Gunung Kidul yang tandus yang ada di kepala saya ternyata sungguh keliru, Gunung Kidul hijau dan subur, bahkan di bukit di tepi pantai. Karena tajam dan panjangnya tanjakan yang kami lalui, kami menyebut gowes kali ini seperti “menek klopo” atau memanjat pohon kelapa 🙂
Empat teman, mas Sapto, dr. Hariyanta dan mas Indul serta mas Anas memang tangguh dan konsisten di depan, sedangkan mas Sigit dan saya konsisten juga, sabar mengayuh pelan di belakang. Hari itu saya merasa ada peningkatan dalam hal kesabaran untuk mengayuh sesuai dengan kemampuan saya, ora kesusu atau emosi untuk menyusul teman di depan. Dan kesabaran ini berbuah manis sampai saya bisa terus mengayuh sepeda tanpa berhenti dan tanpa menuntun menaklukkan tanjakan-tanjakan Panggang dari pantai ParangTritis ini. Bagi saya ini merupakan prestasi pribadi yang membesarkan hati, kemajuan yang berarti dibanding sebelumnya, yang sering menuntun dan perlu beristirahat di sepanjang jalan yang menanjak berkepanjangan.
Suasana hati saat melewati tanjakan-tanjakan berubah-ubah, kadang gembira saat melihat jauh ke depan sudah tidak ada bukit lagi yang lebih tinggi, namun kegembiraan tersebut sering kecele, karna ternyata ada bukit lain yang lebih tinggi di seberang pengkolan yang tidak terlihat dari tempat saya bersepeda, dan bukit tersebut perlu dilalui.
Saat nafas sudah mulai ngos-ngos dan terasa hampir habis, dan tanjakan tajam dan panjang di depan mata, yang saya lakukan selain mengumandangkan mantera iki sing tak goleki, adalah membuat target-target kecil dua atau tiga meter di depan roda saya, dan mata hanya melihat ke target-target kecil tersebut. Melihat ranting didepan dua meter dan ingin mencapai ranting tersebut, kemudian melihat ada batu tiga meter, dan ingin mencapai batu tersebut, dan terus sedikit demi sedikit maju terus pantang berhenti.
Satu hal yang tidak luput dari pandangan saya adalah fitbit surge di pergelanngan tangan kiri saya yang memperlihatkan angka detak jantung saya, yang menjadi acuan utama saya untuk menyatakan diri maih bisa terus gas atau perlu pelan-pelan beristirahat di atas sadel.
Saat badan lagi enak-enaknya..ealah..gaya, ..wong wis melet-melet, di ujung tanjakan panjang yang tajam mas Indul dan dr. Hariyanta berdiri di tengah jalan di pertigaan.
Wow…ayem, langsung josss, tenaga seperti muncul lagi karena sadar, ini pasti ujung tanjakan, ini puncak tanjakan. Benar, ternyata puncak tanjakan panjang ini sudah saya capai, dan berjarak sekitar 5km perjalanan dari pantai ParangTritis. Jarak lima kilometer dengan selisih ketinggian hampir 400 meter.
Puncak tanjakan-Panggang
Setelah istirahat sejenak, termasuk minum teh manis, hanya mas Sapto, mas Anas dan mas Sigit yang jajan teh manis, sedangkan dr. Har, mas Indul dan saya terus ngobrol di tengah pertigaan menikmati puncak tanjakan dan pemandangan Samudra Indonesia di kejauhan.
Perjalanan menuju Panggang sangat nikmat, dengan rolling-rolling, nail turun yang menyenangkan. banyak tanjakan di ujung turunan yang tidak terlalu banyak memakan tenaga kami, karena sisa putaran roda di turunan bisa mencapai tanjakan di depan kami.
Panggang-Sate Menyet
Segera setelah puas dengan rolling-rollong yang mengasyikkan, saat tiba di puncak bukit kami hari itu, jalan terus menurun tajam, di lanjutkan dengan jalan datar sampai jalan Imogiri Timur, kemudian kami lanjut ke jalan Imogiri Barat sampai ujungnya mempir di sate Menyet yang sip.
Sate Menyet-Yogyakarta
Setelah tenaga penuh kembali dari isian sate dan tongseng, perjalanan kami lanjutkan untuk kembali ke rumah masing-masing, kembali melalui jalan Parangtritis dengan arah kebalikannya….
Menyenangkan.