Views: 187
Tulisan masĀ Hari Tjahjono yang dishare lewat WA …Terima kasih mas Hari
Selasa, 15 November 2016. Sekitar jam 2 dini hari masuk pesan dari mas Bambang Soemarwoto di group WA alumni penerbangan ITB, menanyakan apakah ada teman alumni yang beredar di sekitar Shanghai, Cina, yang barangkali berkenan membelikan obat cina khusus kanker paru-paru. Mas Bambang menginfokan secara detil dimana bisa membeli obat tersebut, yang harus dibeli langsung kepada dokter/shinse yang disebutkan nama dan alamatnya secara jelas.
Saya bertanya-tanya dalam hati siapa gerangan yang sakit? Mas Bambang mengatakan bahwa obat itu untuk teman alumni penerbangan juga, tapi tidak bisa menyebutkan namanya. Saya penasaran, makanya saya langsung nanya ke mas Bambang lewat jalur pribadi. Tapi saya gak berharap pesan saya langsung dibaca oleh mas Bambang, karena saya tahu mas Bambang tinggal di Belanda. Jadi saya berharap jawaban itu akan datang sekitar jam 12 siang WIB ketika mas 2 Bambang sudah bangun di Belanda sana. Tapi sekitar jam 8 pagi saya melihat pesan saya sudah dapat 2 contreng warna biru, yang artinya pesan saya sudah dibaca oleh mas Bambang. Wah, kok masih dini hari waktu Belanda mas Bambang masih buka WA? Begitu batin saya dalam hati. Tapi setelah saya tunggu beberapa menit belum ada jawaban juga. Wah, mungkin mas Bambang cuma terbangun sebentar saja dan tidur lagi…
Jam 11 pagi saya ada meeting di Pustekbang, LAPAN, Rumpin, Serpong. Di meeting itu pak Gunawan, Kepala Pustekbang, menginformasikan kepada saya bahwa ada pak Bambang Soemarwoto yang sedang berkunjung ke Pustekbang (Pusat Teknologi Penerbangan), LAPAN. Saya kaget. Loh, ternyata mas Bambang lagi di Indonesia ya? Kenapa jam 2 dini hari masih kirim pesan WA? Kenapa pesan saya yang jam 8 pagi tadi belum dijawab? Saya pun berpesan ke pak Gunawan kalau saya ingin ketemu pak Bambang juga, mumpung beliau lagi di Indonesia.
Akhirnya saya bisa ketemu mas Bambang juga saat itu. Dia bersama temannya orang Belanda yang sama-sama bekerja di NLR. Mereka datang dalam rangka kerjasama Pustekbang LAPAN dengan NLR, Belanda. Di akhir pertemuan itu, saya mojok sebentar menanyakan ke mas Bambang siapa alumni penerbangan yang sakit kanker paru-paru itu? Mas Bambang berpikir agak lama sebelum akhirnya menjawab. Rupanya mas Bambang ragu-ragu kalau mesti membuka nama. Tapi akhirnya dia membuka juga informasi rahasia itu sambil berpesan kepada saya jangan dulu menginformasikan kepada teman-teman yang lain. Dan yang membuat saya shock, dia menyebut nama Bima Prananta! Ya, Bima, sahabat sekelas saya di Teknik Penerbangan ITB angkatan 1984!
Sudah Terlambat
Karena ingin tahu kondisi Bima lebih lanjut, saya ngundang mas Bambang untuk dinner hari itu juga. Mas Bambang akan ngajak 2 orang temennya, orang Belanda dan Italia. Ok gak apa-apa, nanti selain ngobrol tentang Bima bisa ngobrol yang lain juga sekalian.
Selesai ketemu mas Bambang di LAPAN saya harus segera pergi, karena jam 2 ada meeting yang lain. Tapi selama meeting itu perasaan saya gak tenang. Apalagi beberapa kali mas Bambang bilang takut gak sempet ketemu Bima lagi saat nanti balik ke Belanda. Sebegitu parahnya kah? Mengapa begitu cepat? Padahal tanggal 8 November 2016 saya masih ngobrol dengan Bima lewat WA. Memang obrolannya sangat singkat. Tapi bukankah Bima orangnya memang jarang bisa ngobrol lama-lama? Jadi saya pikir Bima masih baik-baik saja.
Tapi mengapa mas Bambang takut gak sempet ketemu Bima lagi? Waktu mas Bambang pengin membelikan obat cina di Shanghai, saya sempat menyarankan mengapa gak Bima nya saja yang dibawa pergi ke Shanghai, supaya pengobatannya lebih intensif.? Tapi mas Bambang bilang gak mungkin, karena kondisi fisiknya sudah tidak memungkinkan bepergian jauh. Ah, separah itukah kondisi sahabat saya ini? Mengapa kondisinya begitu cepat menurun? Sambil meeting, siang itu perasaan saya sangat tidak tenang. Apa yang bisa saya lakukan untuk Bima?
Begitu selesai meeting sekitar jam 4, saya buru-buru menelpon sahabat saya Edi Suwito yang saya tahu sering pameran di Shanghai. Karena sering bolak balik ke Shanghai, mestinya dia punya kenalan yang bisa membantu membelikan obat tersebut. Dan sesuai dugaan saya, mas Edi Suwito cepat tanggap sekali menanggapi permintaan saya ini. Dia tidak nanya-nanya untuk siapa, tapi langsung 4 menyanggupi dan akan segera kontak temennya sore itu juga. Duh, indahnya persahabatan…
Begitu selesai telpon dengan mas Edi Suwito, saya kembali ke ruangan saya melanjutkan pekerjaan. Sambil bekerja, saya masih sempat chatting dengan mas Bambang untuk menanyakan mau makan apa dan dimana untuk dinner malam itu. Belum lama berselang, tepat jam 6 sore, masuk pesan di group WA alumni penerbangan dari Ali Assegaf, yang pesannya sangat mengagetkan: Bima sudah tiada! “Innalilahi wainnailaihi rojiun telah meninggal dunia Bima Prananto (MS 84) RIP. Semoga Almarhum mendapatkan tempat terbaik disisi Nya. (Berita dr Pipien/ FA84, Solo)”. Saya langsung konfirmasi ke mas Bambang lewat pesan WA juga apakah informasi ini benar? Baru selesai nulis pesan WA, tiba-tiba telpon saya berbunyi. Ada panggilan masuk dari mas Bambang! Dengan terbata-bata mas Bambang hanya berkata pendek berulang-ulang: “Bener Har, Bima sudah gak ada. Bima sudah gak ada. Bima sudah gak ada…”
Pesan singkat itu sudah cukup mengkonfimasi pesan WA dari wan Ali Aseegaf itu. Saya makin shock. Secepat itu sahabat saya meninggalkan dunia ini?
Saat-saat Terakhir
Rencana makan malam tetap kami lanjutkan. Saya jemput mas Bambang di Hotel Santika Premiere, ICE, BSD City. Begitu tiba di lobby, saya lihat wajah mas Bambang sangat sedih. Dua orang temennya tidak kelihatan. Kata mas Bambang rencana mengajak temennya untuk makan malam dia batalkan. Tidak enak makan malam bareng mereka dalam suasana duka seperti itu. Akhirnya kami makan malam hanya berdua saja.
Selama makan malam itulah kami ngobrol lebih banyak tentang sakitnya Bima. Dan obrolan kali ini bisa lebih terbuka. Ternyata sakitnya Bima ini berkembang luar biasa cepat. Bima pertama kali mengeluh sakit belum lama, baru di bulan September kemarin. Keluhannya sering batuk cukup parah. Sambil agak sakit, waktu itu dia masih sempet ikut training selama seminggu di Amerika dan lanjut rekreasi di Amerika selama 10 harian bareng istrinya.
Pulang dari Amerika Bima sudah tidak bisa masuk kantor lagi karena harus berobat. Kepastian vonis kanker paru-paru itu ketahuan sekitar sebulan yg lalu. Sejak itu kondisinya begitu cepat menurun. Dan puncaknya ketika hari Senin minggu yang lalu dokter di Belanda menyatakan sudah tidak sanggup lagi mengobati. Sejak itulah mas Bambang dan teman-temannya mulai mencari pengobatan alternatif.
Itulah alasan yang membuat mas Bambang tidak bisa tidur, karena memikirkan sakit sahabatnya yang kondisinya demikian cepat drop. Wajar mas Bambang begitu kepikiran. Mereka berdua sama-sama merantau di negeri jauh sudah sekitar 17 tahun, dan bekerja di kantor yang sama, 8 jam sehari. Makanya jam 2 malam dini hari mas Bambang terbangun dan kepikiran untuk minta tolong tementemennya barangkali ada yang bisa membantu membeli obat Cina di Shanghai. Mas Bambang tidak rela kalau sahabatnya terbaring sakit tanpa daya dan dia diam berpangku tangan saja. Dia harus melakukan sesuatu.
Saya teringat tanggal 8 November masih komunikasi via WA dengan Bima. Waktu itu saya menanyakan kenapa dia left dari group WA alumni penerbangan. Jawaban Bima gak sengaja kepencet. Dan dia mengiyakan waktu saya invite kembali masuk ke group. Saat itu saya tidak menduga sama sekali bahwa sebenarnya sehari sebelumnya, tanggal 7 November, dia baru saja menerima berita yang sangat 6 mengejutkan, ketika dokter di Belanda menyatakan tidak sanggup lagi mengobatinya! Terbayang betapa paniknya sahabat saya ini. Untungnya pada situasi seperti itu support dari keluarganya tidak pernah putus. Mas Bambang sebagai teman sekantor pun rajin menengoknya. Sehari sebelum berangkat dinas ke Indonesia, mas Bambang masih sempat menemui Bima di rumahnya, ketika kondisi Bima sudah sangat lemah, walaupun masih bisa berkomunikasi. Itulah yang membuat mas Bambang beberapa kali bilang ke saya kalau dia sangat takut tidak sempat ketemu Bima lagi.
Mahasiswa Cerdas
Bima ini mahasiswa yang sangat cerdas. Dia representasi formula 4E nya Abah Rama yang nyaris sempurna: Enjoy, Easy, Excellent, Earn. Dia sangat menikmati kuliah di Teknik Penerbangan ITB. Selama kuliah, dia selalu berada di kampus hampir setiap saat, karena saking enjoy (E pertama) nya suasana akademik di kampus. Semua mata kuliah di Teknik Penerbangan termasuk yang paling sulit pun bisa dia kerjakan dengan sangat mudah, easy (E kedua). Dia seperti berlari di jalan tol, padahal mahasiswa penerbangan yang lain banyak yang terseok-seok mengikuti perkulian waktu itu yang banyak horor-nya. Hasilnya pun excellent (E ketiga). Dia tidak lulus cumlaude hanya karena salah pilih jurusan dan salah tahun masuk saja. Coba kalau tidak memilih Teknik Penerbangan, dia tak perlu waktu 6 tahun untuk kuliah di ITB. Lha wong selain tugas akhir yang banyak horornya, kuliah di teknik penerbangan era tahun 80an harus mengerjakan tugas perancangan pesawat yang lebih horor dibanding tugas akhir… he-he-he… Dan cilakanya waktunya memang gak bisa dipercepat lagi. Jadi mahasiswa paling pintar pun ya harus legowo baru bisa lulus setelah 6 tahun.
Bima mengambil tugas perancangan pesawat yang sangat sulit dikerjakan oleh mahasiswa biasa. Dia memilih merancang pesawat tempur! Padahal waktu itu referensi untuk merancang pesawat tempur itu sangat minim. Beda dengan kami mahasiswa biasa yang rata-rata memilih merancang pesawat komersial yang sudah banyak referensinya, dan sudah banyak template perhitungannya. Tapi Bima bisa mengerjakan perancangan pesawat tempur itu dengan lancar-lancar saja. Tidak pernah saya mendengar Bima dimarahin oleh Prof. Diran yang bagi banyak mahasiswa sangat menakutkan itu. Mungkin Prof. Diran memang tidak menemukan celah kesalahan yang dibuat Bima. Jadi tugas kuliah yang terkenal sangat sulit dari seorang dewa sekelas Prof. Diran pun bisa dilalui dengan sangat lancar. Catatan: pada tahun 80an, di teknik penerbangan ITB dikenal 4 orang dewa yang sangat disegani murid-muridnya: Prof. Oetarjo Diran, Prof. Harijono Djojodihardjo, Prof. Sulaeman Kamil, dan Prof. Said D. Jenie. Empat orang dewa inilah yang waktu itu sangat mewarnai pendidikan teknik penerbangan di Indonesia, dan orang-orang yang sangat diandalkan oleh pak Habibie saat membangun PT IPTN (kini PTDI).
Untuk Tugas Akhir, Bima mengambil tugas yang tidak kalah sulitnya, yaitu bidang aeroelastisitas, dibawah bimbingan Prof. Harijono Djojodihardjo. Untuk menguasai bidang ini, mahasiswa mesti menguasai bidang keilmuan yang semuanya sulit: struktur, aerodinamika, dan getaran. Ketiganya harus dikuasai sekaligus. Padahal bagi saya, untuk menguasai ilmu aerodinamika saja sulitnya bukan main. Tapi Bima bisa menguasai ketiga bidang ilmu itu dengan sangat entengnya. Makanya sejak mahasiswa saya sudah meramalkan kalau anak ini kelak akan menjadi ilmuwan kelas dunia. Dia jauh lebih pintar dibanding mahasiswa ITB yang lain, padahal rata-rata mahasiswa ITB adalah para juara di SMAnya.
Selain aktif kegiatan wajib perkuliahan, Bima juga aktif di kegiatan penunjang perkuliahan. Saya pernah bersama-sama Bima diberi tugas mengelola labiratorium komputer prodi teknik penerbangan. Tahun 80an, teknik penerbangan ITB adalah primadona dan anak kesayangan pak Habibie. Fasilitas laboratorium sangat mewah. Laboratorium komputer pun mungkin yang terbaik di ITB saat itu. Dan Bima lah dedengkot laboratorium komputer itu yang membantu mas Bambang Soemarwoto yang waktu itu dosen muda yang ditugasi mengelola laboratorium komputer. Dengan adanya Bima, tugas saya yang secara resmi juga terdaftar sebagai system administrator laboratorium itu menjadi sangat enteng. Semuanya sudah diberesin oleh Bima, jadi tugas saya hanya menemani Bima bekerja saja…he-he-he…
Dan karena hampir setiap hari bergaul di ruang komputer itulah saya sangat respek akan kepribadian Bima yang sangat rendah hati itu. Ah, Bima memang seorang pribadi yang sangat menyenangkan. Sebuah kombinasi kepribadian yang sangat jarang: sangat pintar tapi juga sangat rendah hati.
Selamat Jalan Ilmuwan Kelas Dunia
Walaupun jalan saya terseok-seok tidak mulus seperti Bima, alhamdulillah saya bisa lulus bareng Bima, Oktober 1990. Dan kami berdua sama-sama memilih menjadi dosen di almamater tercinta, teknik penerbangan ITB. Saya di bawah Prof. Diran, dan Bima dibawah Prof. Harijono. Tapi saya hanya bertahan 3 bulan, dan memilih berkarir di luar ITB. Sementara Bima lanjut menjadi dosen, dan menyelesaikan kuliahnya sampai menyelesaikan S3nya di TU Delft, negeri Belanda. Dan sejak keluar dari ITB, saya tidak begitu intens lagi berhubungan dengan Bima.
Bima menyelesaikan S3nya ketika Indonesia mengalami krisis multimdimensional menyusul lengsernya Presiden Soeharto. Program pengembangan pesawat terbang di PT IPTN menjadi tidak jelas, dan ini sangat berimbas di teknik penerbangan ITB. Dalam situasi seperti itu Bima mendapat tawaran bekerja di lembaga riset kelas dunia, NLR, di Belanda. Pada saat yang sama ternyata mas Bambang Soemarwoto pun mendapat tawaran di tempat yang sama. Jadilah 2 sahabat lama ini merintis karir di lembaga riset kelas dunia, untuk menyalurkan talenta-talent mereka yang memang berkelas dunia itu. Selama 17 tahun mereka bekerja bersama, sampai ajal merenggut Bima hari Selasa kemarin. Di NLR inilah bakat Bima tersalurkan dengan baik. Setiap hari dia bergelut dengan masalah-masalah teknologi yang sangat rumit. Dan itu dapat dia lalui dengan sangat baik. Di NLR inilah Bima mencapai puncak prestasi akademiknya dengan menjadi ilmuwan kelas dunia. Otomatis dengan prestasi ini dia mendapatkan Earn (E keempat) yang setimpal.
Saking bagusnya performa Bima di NLR, mas Bambang yang juga seorang peneliti handal di NLR, yang selama 17 tahun ini bekerja bersamanya, memberikan testimoninya seperti ini: “Bima adalah ilmuwan kelas dunia, certainly one of the world’s best in the field, rendah hati, penolong, lurus, dan konsisten. Selamat jalan sahabat”.
Walaupun tidak begitu mengikuti lagi perjalanan karir Bima, tapi selama dia tinggal di negeri Belanda, saya masih sempat beberapa kali menemuinya. Ketika saya kuliah MBA di Belanda tahun 1997-1999, saya pernah mengunjunginya dan menginap di rumahnya. Terakhir saya ketemu fisik sekitar 3 tahun yang lalu ketika saya dan istri sedang berlibur di Belanda. Kami berenam, Saya, Bima dan mas Bambang bersama istri masing-masing, makan malam di sebuah rumah makan di sebuah sudut kota Delft.
Ah Bima, kepergianmu sungguh terasa terlalu cepat. Selamat jalan sahabat, semoga engkau damai di alam sana.
BSD City, 18 November 2016 Hari Tjahjono