Views: 3
Tulisan ini adalah format penulisan ulang apa adanya dari nasakah Dramatic Reading yang disusun oleh tim dari Bacaan Biografi SRIGUNTING, Nandan, Sariharjo, Ngaglik, Sleman DIY yang dipimpin oleh Bapak Primanto Nugroho.
Naskah ini ditampilkan sebagai materi Renungan Kebangsaan dalam acara Malam Tirakatan Kemerdekaan RI ke 80 di Gedung Serba Guna Nandan. Acara yang dihadiri oleh warga Padukuhan Nandan pada hari Sabtu, 16 Agustus 2025 menjadi malam tirakatan bersama yang sudah lebih dari 10 tahun tidak diadakan.
Prolog
Padukuhan Nandan memiliki berbagai kebaikan. Warganya rukun, gotong-royong, dan saling tolong. Kala susah, tetangga bertenggang rasa. Kala suka, berbagi ke sekeliling.
Di antara berbagai kebaikan itu ada satu keunikan yang istimewa. Ada sebuah perpustakaan umum yang sudah berusia lebih dari 25 tahun. Kini koleksinya sudah lebih dari 10 ribu naskah dan buku. Namanya balai bacaan biografi SRIGUNTING. Istimewa, karena koleksinya yang khusus tentang biografi, satu-satunya di Indonesia.
Dari perpustakaan inilah kisah dipetik untuk renungan kebangsaan 80 tahun kemerdekaan RI. Judulnya,”Nandan Bagian dari Jogja Ibu Republik”. Dua kisahnya, “Dari Proklamasi menuju Jogja Kembali” dan tentang “Palagan Tentara Pelajar” yang menjadi nama jalan di Utara Ring Road.
Mari kita simak bersama teman-teman dari perpustakaan Srigunting.

1945
Warga Nandan di era 1990 bisa ingat adanya rumah pelukis Rusli, kelahiran tahun 1916, di dekat jembatan kali Code, pada sisi selatan Ring Road. Pak Rusli memperdalam seni dan filsafat di Santiniketan, India. Ia guru seni di Taman Siswa dan berada di Jogja ketika proklamasi kemerdekaan Indonesia berkumandang pada tahun 1945.
Pak Rusli dikabarkan ikut dalam gelombang massa Jogja yang mengibarkan bendera merah putih di atas gedung Agung, seberang benteng Vredeburg. Kala itu pak Rusli menjadi bagian dari kelompok pemuda Pathuk, bersama Faisal Abda’u dan pemuda Soeharto.
Jogja hingga tengah Oktober 1945 terus bergolak. Komite Nasional Indonesia Daerah dibentuk. Juga BKR. Perebutan senjata di Kota Baru dan penguasaan lapangan terbang Maguwo berlangsung hingga tengah bulan Oktober. Laskar Rakyat di Jogja tergalang, dalam kontak dengan Kraton Jogja dan Pakualaman.
Ketika pecah pertempuran di Magelang , diikuti dengan palagan Ambarawa, serta pertempuran Surabaya, maka TKR bersama kekuatan rakyat bersenjata dari Jogja aktif mengirimkan bantuannya.
Waktu bergulir hingga akhir bulan Desember dan tahun berganti.
1946
Sekitar subuh 4 Januari 1946 kereta api yang membawa rombongan presiden Soekarno dan pemerintah RI masuk ke stasiun Tugu, Jogja. Seorang pangeran kerabat Sultan Jogja menyambut rombongan istimewa ini dan mengantarkan mereka ke kediaman sementara di Pura Pakualaman. Selanjutnya presiden Sukarno berdiam di Gedung Agung di ujung selatan jalan Malioboro, hingga akhir tahun 1949. Sedangkan wakil presiden Mohammad Hatta menempati sebuah rumah di Reksobayan, hanya beberapa meter di utara Gedung Agung.
Jogja resmi menjadi ibu kota Republik.
Sejumlah kementerian dan lembaga negara turut mengungsi ke Jogja, mengambil jarak dari Jakarta yang semakin kacau. Kementerian Pertahanan dan Kementerian Penerangan berkantor di komplek gereja Katolik Kota Baru. Markas Besar Tentara berada di pojok perempatan Sagan. Sekretariat Negara ditampung di barat jembatan Gondolayu. Kementerian Agama menyusul di jalan Malioboro, seperti juga Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) yang dari Jakarta pindah ke Purworejo, kemudian masuk ke Jogja.
Penghuni Jogja membengkak sekian kali lipat.
1947
Hanya dalam hitungan bulan Belanda melanggar perjanjian Linggarjati. Pasukannya menerobos garis batas, dari pangkalannya di Semarang merangsak ke Salatiga dan perbatasan ke Magelang.
Dalam konflik bersenjata di bulan Juli itu gugurlah Abdurahman Saleh dan Agustinus Adi Sucipto dalam pesawat yang ditembak jatuh pihak Belanda di arah selatan Maguwo.
PBB turun tangan dan terbentuklah Komisi Tiga Negara, yang bersidang di Kaliurang.
1948
Perjanjian Renville yang disepakati di awal tahun juga dilanggar oleh Belanda. Desember 1948 pasukan Belanda menyerbu dan menduduki ibu kota Republik. Presiden Sukarno dan wakil presiden Mohammad Hatta beserta sejumlah pemimpin Republik ditawan dan diasingkan ke Sumatera dan pulau Bangka.
Sementara itu panglima Sudirman bersama kesatuan-kesatuan TNI melakukan pengunduran strategis ke pinggir kota dan pedalaman. Jogja ibu kota Republik terpaksa ditinggalkan.
Mulailah terjadi pada babak ini, perang kemerdekaan kedua. Seniman Gesang mengabadikan babak ini melalui lagu “Caping Gunung” ; hari-hari ketika rakyat pedesaan menampung para gerilyawan dan pengungsi.
Lalu tahunpun berganti.
1949
Setelah serangan umum 1 Maret berhasil dilancarkan oleh TNI ke kota Jogja, Belanda makin mata gelap. Dalam kekalutan suasana itulah terjadi peristiwa palagan Rejodani, bulan Mei 1949.
Saat itu hari Minggu. Di dusun Ngetiran sekelompok Tentara Pelajar mendapat kabar, ada patroli pasukan Belanda datang mendekat. Para remaja usia belasan hingga 20-an tahun itu langsung menyongsong musuhnya. Tanpa terkira, pasukan musuh datang melalui 3 arah, dari selatan serta menjepit dari barat dan timur, dalam jumlah ratusan. Pertempuran yang pecah kemudian berlangsung tak imbang.
Delapan Tentara Pelajar gugur.
Pemuda Supanoto gugur dengan luka tembak di kepala. Peluru yang datang dari arah depan, menembus kepalanya, dan merobek bagian belakang topi bajanya dari arah dalam keluar. Bolong!
Kelak di kemudian hari topi baja bolong itu dirawat oleh sang adik, Supandiko. Lalu ketika Monumen Jogja Kembali dibangun, sahabat seperjuangan sesama TP, Suyitno, menemani Supandiko menyampaikan topi baja sang kakak itu untuk menjadi koleksi museum. Hingga kini topi baja bolong itu terawat baik di lingkungan Monumen Jogja Kembali.
Seiring dengan itu jalan yang terbentang dari pedukuhan Nandan ke Utara menuju perempatan Kamdanen kemudian dinamai jalan Palagan Tentara Pelajar.
Jogja Kembali & perjanjian Roem-Royen. Perjanjian Roem-Royen dibuat antara pihak Republik Indonesia dan Belanda pada bulan Mei 1949 di Jakarta. Nama itu diambil dari dua negosiator utamanya, yaitu Mohamad Roem dan Jan Herman van Royen.
Istilah Yogya Kembali mengacu ke peristiwa penarikan tentara pendudukan Belanda dari ibu kota RI di Yogyakarta kala itu, tanggal 29 Juni 1949.
Epilog
Di bawah patung pak Dirman di depan gedung DPRD di jalan Malioboro tertera kalimat :
“Berjuanglah terus. Korban sudah banyak”.
Seruan pak Dirman itu dapat kita arahkan untuk mengingatkan elit kepemimpinan di negeri ini. Agar demi kebaikan bersama secara nasional para pemimpin dapat semakin eling dan semakin ber-Tepo seliro.
Beban hidup masyarakat tak semakin ringan. Kendati begitu, warga Indonesia seperti di pedukuhan Nandan sudah memberi teladan, sekecil apapun, untuk tetap menjaga kegembiraan, kerukunan, bergotong-royong. Warga dan perangkat pedukuhan saling menghormati.
Begitu pula dalam peringatan kemerdekaan RI yang ke-80 ini, dapat berlangsung dengan sederhana namun khidmat sekaligus gayeng dan menghibur.