Views: 8
Kerinduan warga Nandan untuk berkumpul bersama lagi dalam kegiatan Malam Tirakatan HUT RI seluruh warga padukuhan terobati malam itu, Sabtu 16 Agustus 2025. Kegiatan Tirakatan bersama Warga Dusun Nandan berhenti sejak sekitar sepuluh tahun yang lalu, dan berganti menjadi tirakatan per RT. Pada tahun ini para pimpinan Padukuhan dalam Rapat Padukuhan bulan Juni 2025 memutuskan Tirakatan tahun ini dilakukan bersama se Padukuhan.
Malam tirakatan yang berlangsung di Gedung Serba Guna Nandan dikemas dalam konsep sederhana menggali dan memunculkan potensi lokal warga Nandan sendiri dengan tema Renungan Kebangsaan, Nandan bagian dari Jogja Ibu Republik.
Acara yang dikemas singkat padat, sekitar 90 menit diawali dengan Menyanyikan Lagu Kebangsaan Indonesia Raya, sambutan bapak Dukuh dan Doa yang akan dipimpin oleh Bapak Ustad Muhammad Farih. Acara inti malam tirakatan adalah Renungan Kebangsaan berupa Dramatic Reading, yang dilakukan oleh beberapa orang warga Nandan dipimpin Pak Primanto Nugroho, yang tergabung dalam Balai Bacaan Biografi SRIGUNTING, yang berlokasi di RT 01. Penghujung acara adalah Pemotongan tumpeng, yang disampaikan Pak Dukuh kepada Ibu Daryono dan Ibu Purwanti, yang mewakili para sesepuh di Nandan. Beliau berdua adalah istri dari almarhum bapak-bapak Kepala Dukuh Nandan sebelumnya.
Pada setiap mata acara diselingi dengan lagu-lagu perjuangan. Warga yang hadir ikut bernyanyi bersama, yang dipandu oleh beberapa orang warga dari RT 09 dan Rt 10. Juga ada persembahan lagu dari kelompok paduan suara RT 02. Sebelum menyanyikan lagu, dibacakan terlebih dahulu narasi tentang lagu tersebut, dengan tujuan agar semua yang hadir lebih memahami apa dibelakang lagu-lagu yang biasa dinyanyikan itu, yang disusun dan disampaikan oleh tim Balai Bacaan Biografi SRIGUNTING.
Sungguh mengharukan dan membanggakan. Seluruh perencana, yang mempersiapkan acara, yang melaksanakan acara serta yang mengisi acara dalam kegiatan malam TIrakatan ini seluruhnya adalah warga Nandan sendiri. Seluruhnya adalah potensi lokal yang membanggakan. Dan antusias warga yang hadir mengagumkan. Sangat semangat berpartisipasi dalam acara dari awal sampai akhir. Terima kasih untuk seluruh warga Padukuhan Nandan.
Persiapan Tempat Acara
Sejak Hari Kamis, saat masih ada pertandingan Catur di Gedung Serba Guna, para Pepundan (Pemudan Pemudi Nandan) telah mulai melakukan kegiatan Dekorasi Panggung. Semangat kebersamaan Para Pepundan adalah potensi yang membanggakan dan melegakan untuk kesinambungan kehidupan yang menyenangkan di Nandan di waktu mendatang.
Kegiatan Pepundan melakukan dekorasi panggung terus berlanjut di hari Jum’at dan Sabtu. Kegiatan Sabtu sore lebih seru lagi. Pepundan membantu persiapan pengaturan Gedung Serba Guna, membantu Pak Muldadi dan Pak Totok sebagai seksi perlengkapan.





Pengangkutan peralatan-peralatan yang diperlukan, seperti pot-pot bunga untuk dekorasi, pengangkutan tikar dari Pendopo Padukuhan serta pengangkutan konsumsi untuk malam ini dilakukan bersama.
Penyiapan tempat di hari Sabtu siang sampai sore ini juga dihadiri dan dibantu oleh para pimpinan Padukuhan Nandan, termasuk pak Dukuh, para ketua RW dan ketua RW serta beberapa warga yang semangat bergotong royong mempersiapkan tempat.
Siang sore hari itu hadir juga teman-teman dari Pondok Pesantren, yang juga berada di Padukuhan Nandan, yang secara khusus mempersiapkan sound system yang akan digunakan dalam acara Malam Tirakatan Nandan ini.
Semua potensi Nandan muncul bergotong royong.
Perjalanan Acara Tirakatan
Sesuai undangan yang sudah dikirimkan ke seluruh warga Nandan, baik melalui kertas undangan maupun softcopy melalui WAG RT, warga Nandan satu persatu mulai berdatangan di Gedung Serba Guna Nandan sejak pukul 19:15.
Bapak RW 39, Bapak Syamsulhadi Prihantoro, yang bertindak sebagai MC membuka acara Malam Tirakatan pada pukul 20:10 saat bagian dalam Gedung Serba Guna Nandan sudah dipenuhi warga, dan belum terhitung lagi yang memilik duduk-duduk di luar gedung.

Bapak Syamsul mengucapkan selamat datang kepada warga Nandan, menyampaikan tertib acara dan memimpinn doa yang dilakukan masing-masing yang hadir secara pribadi.
Lagu Indonesia Raya dimainkan pertama kali pada tahun 1928 dalam kongres Pemuda di Batavia. Pengarangnya, WR Supratman, tak sempat menyaksikan karya agungnya berkumandang di alam Indonesia merdeka karena ia wafat di tahun 1938.
Ketika kemerdekaan Indonesia bergaung di tahun 1945 sudah ada jarak 17 tahun terentang. Dalam jarak itu ada penjajahan Belanda, krisis ekonomi global, api perang dunia, serta bom atom.
Dalam pusaran kemelut itulah lagu Indonesia Raya digembleng keadaan, diuji dalam terpaan badai sejarah.
Ketika Indonesia merdeka kita sudah memiliki sebuah lagu kebangsaan.
Sungguh tak terbayangkan, lagu kebangsaan dapat lahir tanpa adanya BAHASA INDONESIA, hasil kesepakatan para penggerak kebangsaan. Seindah itu! Semenggetarkan hati itu!
Maka irama dan syair lagu Indonesia Raya kita hidupkan selalu, sebagai tanda hormat pada buah budi bahasa para penggerak kebangsaan kita.
Acara pertama malam itu adalah bernyanyi bersama Lagu Kebangsaan Indonesia Raya. Di atas panggung berjajar Kelompok Paduan Suara RT 2, dan bapak ibu pemandu lagu-lagu malam Tirakatan yang terdiri dari bapak dan ibu gabungan dari RT 02, RT 07 dan RT 10. Dan seluruh warga yang hadir berdiri, dan bernyanyi bersama dengan khidmat Lagu Kebangsaan Indonesia Raya.
Setelah selesai bernyanyi bersama, dalam posisi yang tetap berdiri, seluruh warga yang hadir melakukan photo bersama dengan pak Dukuh dan ibu berada di tengah-tenah yang hadir. Semangat!


Acara selanjutnya adalah Sambutan dari Bapak Kepala Padukuhan Nandan, Bapak Dukuh Susila Sudiarta. Dalam sambutannya Bapak Dukuh menyampaikan Malam Tirakatan tahun ini berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya yang digabung di level Padukuhan, dimana sebelumnya dilakukan di tingkat RT. Meskipun sebelumnya beberapa tahun yang lalu tirakatan level Padukuhan pernah diadakan untuk bapak-bapak saja. Bapak dukuh juga mengucapkan terima kasih atas antusiasme para warga untuk hadir di malam tirakatan ini.


Berikutnya ibu-ibu paduan suara dari RT 02 yang cantik-cantik semuanya naik ke panggung untuk menyanyikan lagu Ibu Pertiwi, sebelum selanjutkan dilanjutkan Pembacaan Doa yang dipimpin oleh Bapak Ustad Muhammad Farih.
Ibu Pertiwi, Delapan puluh tahun yang lalu Jogja menyambut proklamasi kemerdekaan Republik. Sultan HB IX bersama Sri Paku Alam VIII menyatakan Jogja berdiri di belakang RI.
Bahkan mulai awal tahun 1946 Jogja menjadi ibu kota Republik, ibarat sosok ibu yang merawat buah hatinya yang sedang berada dalam Pengungsian, di antara blokade dan serbuan musuh asing.
Jogja menjadi ibu sejati jabang bayi Republik.
Maka ketika bala tentara musuh asing menyerbu ke wilayah Republik, panglima besar TNI jenderal Soedirman berpidato di depan corong RRI dengan judul “IBU PERTIWI MEMANGGIL”.
Kini tanah air kita sedang terus bergolak dalam pusaran kekuatan global yang semakin kompleks. Maka lagu Ibu Pertiwi pun dinyanyikan.
Selanjutnya setelah pembacaan Doa, seluruh warga yang hadir diajak bersama menyanyikan lagu Syukur dan Bagimu Negri yang dipandu oleh bapak dan ibu dari RT 09 dan RT 10, dan diiringi oleh Mbak Nana dari RT 02 yang memainkan organ dan mas Widi yang memetik gitarnya.
Bapak Husein Mutahar, kelahiran 1916.
Pria berjiwa seni asal Semarang ini ada di Yogyakarta ketika menjadi ibu kota Republik antara tahun 1946 hingga akhir 1949.
Selain menjadi pembuat lagu Syukur pak Mutahar bekerja di lingkungan istana negara di ujung selatan jalan Malioboro, sebagai staf sekretariat negara. Saat Yogyakarta diserbu tentara Belanda pada bulan Desember 1948 pak Mutahar diperintahkan presiden Soekarno menyelamatkan bendera pusaka Merah Putih agar tidak jatuh ke tangan musuh. Ia kerjakan tugas mulia itu dan bendera selamat. Pak Mutahar juga merupakan tokoh gerakan Pramuka. Puncak karir nasionalis ini sebagai diplomat terjadi saat menjabat sebagai duta besar RI di Vatikan.
Istimewa saat menyanyikan lagu Syukur bersama, dipertengahan lagu Pak Agung Muridno dari RT 10 membacakan Puisi yang sangat terkenal berjudul Aku, ciptaan Khairil Anwar.
Kusbini, kelahiran tahun 1910.
Seniman musik keroncong di masa Hindia Belanda ini membuat lagu “Bagimu Negeri” saat Perang Dunia II berkecamuk, setelah bala tentara Jepang mengubur masa penjajahan Hindia Belanda.
Bung Karno-lah yang meminta Kusbini untuk membuat lagu yang bisa menyemangati rakyat Indonesia dengan kecintaan pada negerinya.
Lagu “Bagimu Negeri” pun berkumandang bahkan sejak sebelum Republik Indonesia terbentuk. Kusbini kemudian tinggal di utara Pengok, Yogyakarta hingga wafatnya dan menjadi nama jalan sebagai penghormatan atas karya lagunya.
Setelah bernyanyi bersama seluruh warga yang hadir, tibalah pada puncak acara Malam Tirakatan yaitu Dramatic Reading. Tema dari renungan ini adalah “Nandan bagian dari Jogja ibu Republik”. Pembacaan ini dilakukan oleh Pak Primanto bersama 4 orang temannya, satu orang yang lain membaca naskah juga, satu orang membawa tambur kecil, dan satu orang lain memainkan peralatan seperti wayang kulit untuk menunjukkan kurun tahun yang diceritakan. Dan satu orang lain, Ibu Dian, istri pak Prim berperan sebagai narator di sisi panggung.
Persembahan ini mengingatkan kepada semua yang hadir, bahwa Padukuhan Nandan memiliki berbagai kebaikan. Warganya rukun, gotong-royong, dan saling tolong. Kala susah, tetangga bertenggang rasa. Kala suka, berbagi ke sekeliling.
Di antara berbagai kebaikan itu ada satu keunikan yang istimewa. Ada sebuah perpustakaan umum yang sudah berusia lebih dari 25 tahun. Kini koleksinya sudah lebih dari 10 ribu naskah dan buku. Namanya balai bacaan biografi SRIGUNTING. Istimewa, karena koleksinya yang khusus tentang biografi, satu-satunya di Indonesia.

Dari perpustakaan inilah kisah dipetik untuk renungan kebangsaan 80 tahun kemerdekaan RI. Judulnya,”Nandan Bagian dari Jogja Ibu Republik”. Dua kisahnya, “Dari Proklamasi menuju Jogja Kembali” dan tentang “Palagan Tentara Pelajar” yang menjadi nama jalan di Utara Ring Road.
Naskah lengkap dari Dramatic Reading karya Pak Primanto ini bisa diclick disini.
Warga yang hadir dari renungan ini banyak belajar tentang perjuangan bangsa dalam mempertahankan Kemerdekaan RI dalam konsteks lokal Yogyakarta dan Nandan.
Gelora semangat dan kebangaan atas perjuangan para pahlawan bangsa dalam mempertahankan Kemerdekaan RI, warga diajak bernyanyi besama lagu Maju Tak Gentar yang kembali dipandu oleh Pemandu Lagu dari RT 09 dan RT 10.
Cornel Simanjuntak, kelahiran tahun 1921.
Pengarang lagu “Maju Tak Gentar” Cornell Simanjuntak berasal dari Sumatera Utara. Ia bersekolah guru di Kolese Xaverius Muntilan hingga perang Dunia II pecah dan Jepang menguasai Hindia Belanda. Di Jakarta Cornel bekerja di pusat kebudayaan Keimin Bunka Sidosho bersama Kusbini, Bu Sud, dll. Setelah tahun 1945 Indonesia merdeka Cornel turut dalam pertempuran melawan Belanda di Jakarta dan terluka. Ia dibawa ke Yogyakarta dan dirawat di sanatorium Pakem hingga wafatnya September 1946 di usia sekitar 27 tahun. Kini makamnya ada di Taman Makam Pahlawan Kusuma Negara. Namanya digunakan sebagai nama jalan di Yogyakarta dan di kota kelahirannya, Pematang Siantar.
Melanjutkan kenangan atas perjuangan para pahlawan di awal-awal Kemerdekaan, Paduan Suara Ibu-ibu RT 02 menyanyikan lagu Sepasang Mata Bola
Ismail Marzuki, kelahiran Betawi, 1914.
Ia mengarang lagu sejak usia belia, seiring dengan bakat bermusiknya yang juga tinggi.
Dengan bekal pengalaman berkarya lagu serta musik melalui keroncong di masa Hindia Belanda lalu Ismail masuk lingkungan penyiaran di zaman Jepang berkuasa. Ketika proklamasi kemerdekaan Indonesia berkumandang pada tahun 1945 kemudian ia lanjutkan jalur bermusiknya melalui RRI.
Sekitar hari radio di bulan September tahun 1946, dalam perjalanannya berkereta api dari Jakarta menuju ibu kota Republik di Yogyakarta, lahirlah karya besarnya itu, lagu Sepasang Mata Bola.
Putra Betawi yang menyumbangkan bagi Indonesia karya-karya lagunya, itulah Ismail Marzuki. Di stasiun Tugu, Yogyakarta nada lagu karyanya pula yang diperdengarkan hingga kini. Sungguh, ia berjuang bagi kemerdekaan Republik melalui bahasa musik.
Acara terakhir Malam Tirakatan adalah Ungkapan Syukur atas jasa para pendahulu Padukuhan Nandan, yang telah menamamkan kebaikan-kebaikan yang bisa kita nikmati pada hari ini. Yang meninggalkan warisan Dusun yang seindah dan senyaman ini. Ungkapan syukur ini disampaikan oleh Pak Dukuh, dan diwujudkan dalam bentuk pemotongan tumpeng dan diberikan kepada dua orang istri pada ke Kepala Dukuh periode yang lalu, yaitu kepada Ibu Daryono dan Ibu Purwanti.
Seperti di awal acara, semua warga yang memandu lagu dari RT 09 dan RT 10 serta kelompok paduan suara ibu-ibu dari RT 02 naik ke atas panggung dan mengajak semua warga menyanyikan lagu penutup karya Ibu Sud yang berjudul Tanah Airku
Lagu Tanah Airku diciptakan oleh Ibu Sud. Ibu Sud, kelahiran Sukabumi, 1908.
Nama lengkapnya ialah Saridjah Bintang Sudibyo, tapi lebih tenar sebagai ibu Sud.
Sebagai guru yang mahir bermain biola , di masa penjajahan Belanda ia membuat lagu anak dengan bersumber dari kecintaan pada tanah air, dari hal-hal yang sehari-hari seperti hujan, burung kutilang, dsb. Sebelumnya, para murid sekolah dasar terpaksa menyanyikan lagu-lagu bersyair negeri Belanda dengan 4 musim, bunga tulip, dan kincir anginnya.
Ketika Indonesia merdeka tahun 1945 ibu Sud bersama para komponis dan pemusik Republiken seperti Kusbini, Cornel Simanjuntak dll melanjutkan karyanya dengan lagu-lagu bersemangat kebangsaan.
Semua yang hadir diajak berdiri, dan bersama menyanyikan lagu Tanah Airku ini. Di pertengahan lagu Pak RW 39 selalu MC menutup acara, dan mengajak Pak Dukuh, Ibu Dukuh dan para pimpinan Padukuhan Nandan untuk naik ke panggung dan berfoto bersama.
Dirgahayu Republik Indonesia yang ke 80. Merdeka!


