Views: 31
Siang jam setengah tiga, matahari panas menyengat, dan saya tetap memilih melangkahkan kaki ke seberang jalan untuk membeli gethuk di bawah lampu bang-jo. Lapak gethuk itu hanya kecil nempel di sela pagar toko yang selalu ramai dan laris, di trotoar dekat perempatan jalan yang selalu ramai juga.
Lapak gethuk ini memang kecil banget, hanya berupa meja kecil pendek dengan penutup di atasnya, lebarnya sekitar enampuluh sentimeter kali yaaa..hanya selebar badan ibu penjualnya lebih sedikit. Ibu penjual duduk di belakang lapaknya sambil tangannya terus sibuk memasukkan potongan-potongan kecil gethuknya ke bungkus plastik.
Saat saya tiba di lapak gethuk itu, ada seorang bapak yang berdiri di depan lapak ngobrol dengan ibu penjual yang sambil ngobrol terus memasukkan potongan-potongan gethuk kecil ke dalam plastik pembungkus. Sudah jadi tiga bungkus gethuk yang siap jual. Awalnya kukira bapak di depan lapak itu pembeli, jadi ketika tiba di samping lapak, saya hanya diam menunggu sampai bapak itu selesai dilayani.
Sambil terus memasukkan gethuk ke dalam plastik ibu penjual bertanya, “Tumbas pinten mas?..Beli berapa mas”. Aku diam saja, karena kupikir ibu itu bertanya ke bapak yang di depannya, eh, ternyata bapak di depannya koq diam saja. Lalu aku bertanya ke bapak itu, “Bapak mundhut gethuk? Bapak beli gethuk?…Oh, mboten mas, Kulo namung ngobrol wonten mriki. Tidak mas, saya hanya ngobrol di sini. Yeee….
Wow, aku to yang ditanya ibu penjual, dan aku balik bertanya, “Pinten setunggal bungkus bu?” Berapa satu bungkus Bu. “Gangsal ewu”..lima ribu, jawab ibu penjual. Lalu aku bilang beli sepuluh. Dan ibu penjual bertanya lagi, “Sedoso ewu mas?” Sepuluh ribu mas?. “Mboten bu, sedoso bungkus”. Bukan bu, sepuluh bungkus, jawabku, karena aku memang perlu beli agak banyak untuk nyamilan saat ngobrol rapat dengan teman-teman di seberang jalan yang akan dimulai jam tiga, sebentar lagi.
Lalu bapak yang tadi berdiri di depan lapak, berpindah di belakang samping ibu penjual, dan membantu mencekleki bungkus plastik gethuk dengan strapler. “Sini, aku bantu bu” kata bapak tadi. Dan ibu penjual melanjutkan membungkus-bungkus gethuk, lalu diletakkan di atas penutup meja lapaknya, dan segera disahut oleh bapak di sampingnya untuk distrapler. Baik banget bapak ini, ikut bantu-bantu…, meskipun sekilas aku merasa, bahwa itu penjual ini tidak minta dibantu-bantu. Kayaknya bantuan ini malah sedikit mengganggu SOP keluwesan ibu penjual dalam menyelesaikan pekerjaannya…kayaknya lho…
“Bika jam pinten ngantos jam pinten bu?”, Buka jam berapa sampai jam berapa bu, tanyaku. “Jam sedosonan mulai mas” Jam sepuluhan mulai mas. “Tutupe sak telase bu? Tutupnya sampai habis bu, tanyaku lagi. “Mboten mas, telas mboten telas, nek pun wayahe wangsul nggih wangsul, ndak ketelasan kendaraan”. Tidak mas, habis atau tidak habis kalau saatnya pulang, ya pulang, supaya tidak kehabisan kendaraan, jawab ibu penjual gethuk.
Ngobrol sana sini di sela-sela saji tunggu antara ibu penjual dan saya, sampai saya tahu bahwa ternyata ibu penjual gethuk ini tinggal di Magelang, di dekat Taman Kyai Langgeng, dan tiap hari bolak balik Magelang-Yogya yang jaraknya sektar 40km, untuk jualan gethuk di lapak kecilnya ini. Aku berpikir, terus berapa penghasilan ibu ini, dengan berjualan gethuk yang tentunya tidak terlalu banyak karena ukuran lapaknya saja sangat kecil, ditambah pengeluaran dan menghabiskan waktu, dan tenaga naik bus bolak-balik Magelang-Yogya. Pasti tidak banyak untungnya dengan effort yang sebegitu besar.
“Sampun sedoso bungkus bu”, Sudah sepuluh bungkus itu bu, kataku ketika kulihat ibu penjual sudah menyelesaikan sepuluh bungkus yang akan kubeli dengan harga sepuluh kali lima ribu perbungkus, atau lima puluh ribu totalnya. Jawaban ibu penjual membuatku tercekat, kurasa menghentikan sejenak aliran teratur nafasku karena secara tidak sadar aku menelan ludah, “Dalem tambahi satu bungkus mas, . Saya tambahi satu bungkus mas,”, kata ibu penjual santai dengan sedikit tersenyum.
Ya ampun bu, lima ribu perbungkus sudah murah banget, dan ibu masih perlu ongkos pulang Yogya-Magelang, seberapa untung ibu, tapi ibu sangat murah hati memberi tambahan satu bungkus kepada saya. Apakah ibu masih akan mendapatkan laba hari ini, bagaimana hitung-hitungannya ibu, apakah ibu pernah belajar matematika, dimana ibu belajar, itu yang langsung berkecamuk di di kepalaku.
Mungkin ini contoh hidup yang orang disebut abundance mentality, seorang yang memiliki mental melihat dunia sebagai sesuatu yang berkelimpahan, dunia yang memberinya kelimpahan anugerah, yang tidak akan habis digunakan orang lain, dan selalu memiliki rasa syukur terhadap apapun, dan selalu ingin berbagi dan memberikan rasa senang dan bahagia bagi orang lain. Yang tidak perlu ada hitung-hitungan matematikanya.
Saya tentunya senang, membeli lima puluh ribu yang seharusnya mendapat sepuluh bungkus, itupun sudah sangat banyak bagiku, masih ditambah lagi satu bungkus.
Ibu penjual yang sangat sederhana ini telah memberikan lebih dari pada yang kuharapkan, memberi rasa bahagia bagiku. More than my expectation.
Saya yang seharusnya lebih layak memberi ibu penjual gethuk ini dari kelebihanku, ternyata malah sebaliknya, ibu penjual gethuk yang memberi saya kebahagiaan, Ibu penjual gethuk memberi dari kekurangannya menurut ukuran materi, bukan dari kelimpahan materi yang dimilikinya. Ibu itu mungkin memiliki lebih sedikit uang di dompetnya dibanding uang di dompetku, belum lagi ditambah banyaknya credit card di dompetku, namun ibu itu sangat kaya jiwanya….
Kemurahan hati ibu penjual gethuk ini, entah apa motivasinya, tentu berangkat dari jiwa yang penuh syukur, berangkat dari mental yang berkelimpahan, pikiran bahwa hidupnya berkelimpahan. Karena hanya orang yang merasa sudah mendapatkan, orang yang sudah merasa memiliki yang mampu untuk berbagi dengan ikhlas. Ibu ini pasti memiliki surga pribadi di hatinya, dan mampu membagikan surganya bagi orang-orang di sekitarnya.
Setelah membayar, saya pergi membawa dua tas kresek berisi sebelas bungkus gethuk, dan sekaligus membawa sebuah teladan tak bernilai, yang semoga bisa terus kuingat. Dan kutulis di sini, agar bisa kubaca-baca lagi nanti, kalau-kalau aku lupa pada teladan itu…..
Saya beruntung, tadi memilih untuk melangkahkan kaki menyeberang jalan untuk membeli gethuk meskipun hari panas.
Matur nuwun ibu.