Views: 87
Kereta api Bima hari itu, Jum’at 13 Maret 2015, tiba di Stasiun Tugu Yogyakarta tepat waktu. Sampai di Yogya masih hari Jum’at, jam 23:50 :). Asyik, artinya bisa istirahat tidur lebih lama sebelum gowes di Sabtu pagi. Ya, sudah janjian Sabtu pagi jam 05:30 kumpul di KM 0 untuk gowes ke Grojogan Tuwondo, Bantul. Komitmen menggembirakan untuk bisa rutin berolah raga.
Setelah tidur dengan nyenyak di rumah, jam 04:30 pagi bangun, siap-siap dan segera meluncur menyusur jalan Monjali, menuju Tugu, melintas Malioboro mengarah ke KM 0 titik temu pagi itu. Hari masih gelap, dan sedikit percik-percik air gerimis mulai menemani di daerah Malioboro. Di KM 0, di dekat patung-patung gajah yang sudah mulai menjadi korban keisengan, dicoret-coret, sudah hadir menunggu, mas Yuda dan Prof. Nizam. Pas, baru kumpul bertiga, hujan lebat mengguyur, dan kami berteduh di “lobby luar” bank BNI di sisi Selatan Barat perempatan KM 0. Segera setelah kami duduk, datang penjual kopi, dan mas Yuda dan Prof Nizam tidak melepaskan kesempatan ini untuk ngopi, menghangatkan tubuh di tengah curah lebatnya hujan pagi itu. Tidak begitu lama hujan lebat ini reda, dan kami bertiga segera meluncur meninggalkan KM 0, mengarah ke alun-alun Kidul, terus melaju menuju Terminal bus Giwangan di tepi ring road Selatan. Dari perempatan terminal Giwangan, gowes terus berlanjut ke arah Selatan di jalan Imogiri Timur Tidak begitu jauh, kami berbelok ke kiri, atau ke arah Timur menuju jalan Pleret. Kemudian terus mengarah ke Timur, menuju ke Grojogan Tuwondo yang terletak di kampung Lemah Abang, Banyakan 3 , Sitimulyo, Piyungan, Bantul.
Lokasi grojogan ini tidak terlalu jauh dari kota Yogya, hanya sekitar 15 km dari KM 0 Yogyakarta. Pemandangan di perjalanan menuju lokasi tersebut, sangat indah, perpaduan antara perkampungan penduduk, persawahan dan bukit yang hijau di musim penghujan ini. Kira-kira 1 km sebelum lokasi grojogan, perjalanan berlanjut melalui jalan semen hasil swadaya penduduk, dan sekitar 300 meter terakhir melalui jalan Tanah liat yang agak licin di saat geremis seperti saat kami tiba di lokasi grojogan ini.
Konon nama Gerojogan Tuwondo yang berketinggian sekitar 25 meter ini, dipilih karena bentuk batu-batuan tempat air terjun yang bertingkat-tingkat seperti anak tangga , Batu-batuan atau dalam bahasa Jawa watu bentuk ondo. Jadi perbaduan antara watu/batu dan ondo (tangga). Watu berbentuk ondo (Batu-batuan berbentuk tangga), dan seperti kebiasaan orang Jawa yang senang dengan bunyi yang enak di telinga dan menyingkat, watu ondo menjadi Tuwondo.
Bentuk bertingkat-tingkat ini menambah keindahan panorama, dan suara gemercik air menambah lengkap keindahan empat dimensi grojogan ini. Sangat menyenangkan, menatap air yang turun dari atas bertingkat-tingkat, dan mendengarkan suara gemericik air…..sungguh indah.
Rencana semula kami akan langsung balik ke Yogya untuk mampir di Sate Klatak pak Pong, namun ketika keluar dari jalan semen, kami melihat petunjuk jalan menuju Puncak Bucu….dan kami memilih untuk mengarah ke jalan mendaki ke Puncak Bucu. Dan memang luar biasa. Jarak tempuh tidak lebih dari 3 KM, namun menanjaknya lumayan berat. Perbedaan elevasi di jalan masuk sampai ke puncak sekitar 200 meter. Dan beberapa kali kami memilih menuntuk sepeda, karena memang sudah tidak kuat lagi untuk mengayuh. Dan praktek menuntun sepeda masih kami lakukan juga saat turun, karena ketajaman jalan yang menurun dan licin karena masih sedikit geremis. Setelah sejenak menikmati pemandangan di puncak Busu (meski kami belum yakin juga, mana yang disebut Pucak Busu, karena tidak ada petunjuk yang jelas), kami segera berbalik menuju Sate Klatak pak Pong…uenak satenya, meski hanya 2 tusuk untuk satu porsinya.