Views: 100
Gowes ke Turbo yang direncanakan beberapa waktu yang lalu, mundur seminggu dari jadwal semula akibat sehari sebelum hari yang direncanakan, turun Abu vulkanik gunung Kelud yang dasyat melanda Yogyakarta. Ketika Mas Joko Sumiyanto berdasarkan hasil surveynya sudah memberikan aba-aba di facebook bahwa gowes ke Turbo bisa dilaksanakan hari Sabtu, 22 Pebruari 2014, langsung banyak komentar-komentar penuh semangat di facebook untuk menyatakan diri ikut serta, termasuk aku tentunya.
Kumpul di perempatan Monjali, kebeneran dekat rumah…perjalanan ke arah Pulowatu berjalan dengan nyaman, di jalan aspal yang terus mendaki, namun relatif ringan karena tingkat kemiringan naiknya tidak terlalu tajam, apalagi dilalui bersama banyak teman sinambi ngobrol. Nggak terasa jarak sekitar 12 km bisa dilalui dengan nyaman.
Pulowatu sebagai pos regrouping pertama, bertemu lebih banyak lagi teman, baik yang sudah berangkat lebih pagi, maupun yang berjalan dari arah jalan Kaliurang. Kami berkumpul bersama dan melanjutkan perjalanan, naik ke Turgo dengan tujuan berikutnya Warung Makan Mas Benny.
Lumayan menantang rute ini, jalan terus menanjak dengan tingkat kemiringan yang lebih tajam, dan kadang bikin sedikit kecut di hati…lha wong sudah menggeh-menggeh, lihat di depan jalannya nuanjak…Dan bagi saya, santai saja, kalau capek ya minggir dulu, cari tempat leyeh-leyeh sejenak, minum dan makan bekal sedikit, sambil tolah toleh melihat pemandangan di sekitar.
Suasana jalan sangat sejuk di pagi hari, dominan kebon buah Salak di kiri dan kanan jalan, yang sebagian daunnya masih bersisa abu gunung Kelud. Meski jalanan sudah bersih dari abu. Jalan mendaki, dan kayungan sepeda perlahan-lahan sesuai kekuatan masing-masing. Bergantian beberapa teman memilih untuk berhenti sejenak di pinggi jalan ketika rasa capek sudah memuncak. Kalau dipikir-pikir memang aneh juga, nggak ada yang nyuruh, nggak ada yang memaksa, dan nggak ada yang akan mbayari, tapi semua tetap memilih menempuh pilihan yang berat, yaitu terus mengayuh sepedanya mendaki meskipun rasa capek kadang terasa sudah mencapai ujung batas daya tahan. Padahal bebas saja, kalau mau memilih putar 180 derajat dan kembali ke Yogya, lha wong jalannya ya lurus tinggal ngglondor, turun terus….
Dan, warung makan sederhana mas Bennypun kami capai. Saat saya tiba di warung mas Benny, beberapa teman sedang menikmati makan, bahkan ada teman yang sudah selesai makan, artinya mereka sudah tiba lama sebelumku…huebat…Dan sarapan nasi dengan sayur mbayung dan lele menjadi obat mujarab dari segala rasa capek sebelumnya. Hilang semua “penderitaan” sebelumnya yang sangat saya nikmati. Dan di akhir acara makan, tidak lupa acara foto-foto bersama, dengan Pak Djoko Luknanto sebagai juru foto utama, dibantu beberapa teman lain seperti mas Joko Sumiyanto, mas Yuda dan dokter Hendro.
Beberapa kawan yang ada janji lain memilih berpisah untuk langsung turun, kembali ke Yogya, dan sebagian besar anggota rombongan memilih memenuhi tantangan untuk masih naik ke puncak Turgo untuk kembali ke Yogya menembus kali Boyong melalui Kaliurang. Saya belum terbayang mau lewat mana ini, yang penting ikut….
Dan jalur eksotik dan heroik segera kami nikmati, setelah sedikit menanjak dari warung makan mas Benny, jalan berbelok ke kanan..Dan kami segera berada di tengah-tengah lukisan alam yang sangat indah, bukit di kiri dan di depan dan kami terus melaju di jalan aspal yang mulus melewati pedesaan kecil. Jalanan tajam menurun menuju jembatan, dan segera di susul dengan jalan yang naik tajam, yang memaksa beberapa teman untuk memilih turun dari sepeda dan nuntun, namun sebagian besar dari kami masih mampu terus duduk di atas sadel sepeda, terus menggenjot di posisi gir yang paling ringan, sehingga laju sepeda menjadi sangat lambat. Sampai di satu persimpangan jalan, trek master kami, mas Harto memilih mengambil jalan belok ke kiri, yang keluar dari “main road” melalui jalan blok beton yang masih dilapisi tipis abu gunung Kelud. Jalanan beton terus menurun tajam.
Dan di ujung jalan, kami segera menemui pemandangan yang luar biasa menawan, dimana jalan yang kami lalui berada jauh di atas dasar sungai Boyong, yang saat itu kering, namun penuh batu-batuan dari Merapi. Dan diseberang sungai berdiri satu bukit yang tegak berdiri dilapisi pohon-pohonan yang lebat. Dan ketika kami melihat ujung jalan kami, ternyata turun ke sungai, dan tak ada jembatan untuk menyeberang sungai, dan juga tak terlihat ada jalan lain di seberang sungai.
Kami bertanya-tanya, kemana kita setelah ini, apakah kita harus kembali ke warung Mas Benny, artinya harus menanjak tajam kembali? Kata mas Harto trek master kami, kita akan naik bukit di depan itu untuk menuju ke Kaliurang….halah…..guyon…lha wong bukit sebegitu tajam dan tinggi, dan tak ada tanda-tanda ada jalan koq mau di tembus. Akhirnya kami semua memilih untuk “nggak usah mikirin jalan pulang dulu, yang penting foto-foto di tempat yang sangat indah ini”. Kalau mikir jalan pulang bisa pucat….nggak kebayang.
Berada di jalan di atas ketinggian sungai yang penuh batu, ada rasa kuecillll di tengah batu-batu besar di dasar sungai, yang diseberang dibentengi oleh dinding yang tegak gagah hijau, seakan menjaga agar batu-batuan di sungai tidak minggir-minggir. Di ujung jalan di jarak yang begitu jauh, terlihat bangunan Sabo, bendung yang berguna untuk mengurangi aliran pasir dan batu ke arah hilir. Dan saat melihat ke arah hulu, terlihat dua buah bukit besar yang sedikit overla satu sama yang lain, yang saya bayangkan ditembus oleh hulu sungai Boyong ini, yang mengalirkan aneka material dari luapan Merapi saat erupsi.
Kebetulan cuaca agak mendung, dan agak gelap, sehingga kesan angker sungguh terasa, dan lebih mengerikan lagi kalau membayangkan adanya aliran lahar dingin dari hulu. Tak bosan-bosan mata memandang, menikmati aneka penjuru mata angin dengan aneka pemandangan yang saling melengkapi indahnya lukisan Yang Maha Kuasa.
Saat kang Harto memberi tanda bahwa jalan naik tebing masih ada, dan merupakan satu-satunya jalan bagi siapapun yang tidak ingin lanjut, maka rasa lega bercampur deg-degan beraduk menjadi satu. Lega karena masih ada jalan, deg-degan karena membayangkan tajamnya bukit yang harus didaki.
Mulailah satu persatu menyeberang sungai, dan mencari jalan yang paling landai untuk mulai naik ke jalan setapak di bukit, dan ternyata memang nyata ada, jalan naik ke atas bukit yang berliku-liku menyusuri tebing untuk terus naik. Panjang jalan berliku merayapi tebing hingga sampai di puncak tebing yang berupa hamparan rumput. Rasa lega, lepas dan puas di puncak bukit..dan ternyata sangat dekat dengan jalan raya Kaliurang, di dekat Telaga Nirmala.
Setiba di jalan raya ini, rasanya sudah sampai rumah, karena untuk kembali ke rumah, cukup duduk diatas sadel sepeda, dan sepeda jalan sendiri tanpa dikayuh….ngglondor dalane…. Terima kasih