Views: 37
Penjelajahan kecil lewat buku pertama dari novel tetralogi karya Andrea Hirata ini diawali dari SMS si Untung yang mau nitip dibelikan buku. Katanya buku novel bagus, judulnya Edensor…..Buku apaan pula ini.
Kebetulan aku menginap di Arya duta, dekat dengan toko Gunung Agung Jakarta. Aku mencari buku ini, tanya ke petugas, ternyata gampang banget, buku itu nampak mencolok di bagian buku laris. Ada empat seri kata yang jual. Ikutanlah aku beli 3 seri pertama yang sudah ada, Laskah Pelangi, Sang Pemimpi dan Edensor.
Sore ini baru selesai baca habis Laskar Pelangi. Bagus. Kesanku sehabis baca buku ini, langsung teringat novel pertama dari tetraloginya Pramoedya Ananta Toer, Bumi Manusia. Aku merasakan kesamaan dalam keasliannya, dan kedalaman jelajah setiap penjelasan. Namun beda jauh dalam konteks dan kontennya. Dalam Bumi Manusia kental berkisah tentang perjuangan manusia dewasa, buku Laskar Pelangi ringan bercerita tentang kebebasan mimpi anak-anak dan remaja. Sekaligus aku jadi teringat buku bagus , Toto Chan Gadis Kecil di Jendela, novel dari Tetsuko Kuroyanagi yang berkisah tentang sekolah yang tenang dan damai, belajar dari alam dan membentuk pribadi tanpa mengekang. Sekolah yang dilakukan sepenuhnya dari sudut pandang anak-anak.
Novel ini dengan ringan bercerita tentang kisah anak-anak di Belitong yang bersekolah di sekolah miskin, SD Muhammadiyah yang berlokasi dengan dengan PN Timah,yang jauh berbeda dalam penampilannya. Banyak kisah pengalaman anak-anak yang dididik oleh Bu Mus, sang ibu guru yang sabar dan baik, yang mengajar dan sekaligus menjadi temanĀ mulai dari kelas 1 SD sampai lulus SMP :):).
Banyak kisah penuh haru, kisah cinta , kisah petualangan, kisah persaingan menghiasi novel ini. Entah mengapa, membaca lembar demi lembar buku ini, aku merasa berenang balik mengarungi mimpi pribadiku sendiri. Mimpi masa anak-anak yang banyak ingin, banyak berkayal dan banyak nekat tanpa batasan. Dengan sangat liar dan indah dan kadang berlebih-lebihan, Andrea menggapai-gapai ujung mimpi dan kayal anak-anak. Aku merasakan lewat kalimat-kalimatnya, Andrea bercerita tentang sungguh bebasnya anak-anak berkhayal, bermimpi menggapai langit, bahkan tajam menusuk-nusuk awan melewati langit.
Dunia Pendidikan
Sungguh indah kesan Andrea tentang sekolahnya, yang aku yakin hal ini menjadi idaman para guru dan para pengelola sekolah. Aku kutip disini kalimat-kalimat mengesankan dari novel ini:
” Tak dapat dikatakan bahwa seluruh alumni sekolah Muhammadiyah Belitong telah menjadi orang yang sukses – apalagi secara material -namun para mantan pengajar sekolah itu patut bangga bahwa mereka telah mewariskan semacam rasa bersalah bagi mantan muridnya jika mencoba berdekatan dengan khianat terhadap amanah, jika mempertimbangkan dirinya merupakan bagian dari sebuah gerombolan atau rencana melawan hukum, dan jika membelakangi ayat-ayat Allah. Itulah panggilan tak sadar yang membimbing lurus jalan kami sebagai keyakinan yang dipegang teguh karena bekal dari pendidikan dasar Islam yang tangguh di sekolah miskin itu.”
Seberapa banyak sekolah saat ini yang mengutamakan nilai-nilai kehidupan baik seperti itu? Aku melihat sebagian sekolah saat ini lebih mengedepankan prestasi-prestasi akademis, lomba-lomba sesaat yang membanggakan dengan piala-piala besar penuh pamer.
Aku mencoba mereka-reka gambaran kata-kata dari novel ini, betapa dari sekolah yang miskin terbelakang yang jauh dari harapan, tercipta pribadi-pribadi tangguh dengan daya mimpi besar, sekaligus berselimut nilai-nilai kehidupan yang agung. Gambaran ini, seharusnya menjadikan suatu tantangan yang besar bagi anak-anak yang memiliki fasilitas lebih besar, yang secara teoritis memiliki peluang lebih besar untuk berprestasi.
Keberhasilan manusia bukan diukur dari materi yang dikumpulkan, bukan dari pangkat yang dicapai, atau pendidikan yang didapat, namun lebih kepada apa yang bisa diberikan oleh setiap pribadi bagi orang lain. Seberapa besar kita berguna dan bermakna bagi orang lain. Sungguh, pemahaman tersebut hanya akan subur tumbuh dari didikan para orang tua dan para guru yang berjuang di jalan Tuhan dengan penuh suka rela menanamkan nilai-nilai prinsip kebaikan yang bersifat univerasl, kepada anak didik dengan penuh rasa bangga. Andrea menuliskan kesannya yang diingat dari bapak gurunya, Pak Harfan:
“Pak Harfan berpesan hiduplah dengan memberi sebanyak-banyaknya, bukan menerima sebanyak-banyaknya. Hal ini terefleksi pada kehidupan puluhan mantan siswa Muhamamdiyah yang kukenal dekat secara pribadi. Mereka adalah tipikal orang yang sederhana namun bahagia dalam kesederhanaan itu”
Aku sendiri, lahir dan dibesarkan oleh bapak ibuku yang dari awal sampai pensiun berprofesi sebagai guru. Aku bangga menjadi anak guru. Waktu aku lulus perguruan tinggi, ibuku penuh haru berkata, bahwa bapak dan ibu bangga kamu bisa lulus sekolah lebih dari ibu dan bapak bisa capai, dan sekarang tugasmu untuk berkarya dan memberi sebanyak-banyaknya bagi orang lain yang memerlukan.
Novel ini banyak memberi kita pembelajaran, bahwa kemiskinan bukan halangan untuk menjadi pribadi yang tangguh, semuanya tergantung dari bagaimana masing-masing pribadi berani bermimpi dan bertarung untuk mewujutkannya.
Para orang tua ..para guru…anda memiliki tanggung jawab besar untuk masa depan anak-anak kita.
Ok..aku mau lanjut baca novel ke duanya…Mitha dan Chala nanti baca novel ini yaaaaaaa.
Selamat malam.