Views: 85
Beberapa saat sepeninggal Turgo, kami berhenti di satu jalan di pinggir Sungai Boyong yang berada sekitar sepuluh meter di atas dasar sungai yang penuh dengan batu-batuan aneka ukuran. Dan di seberang sungai, tampak kokoh berdiri satu tebing tinggi menjulang sekitar tiga puluh meter, hijau tegak berselimutkan rindang pohon-pohon besar. Saat kami bertanya ke master track kami, Kang Tri Lakone menunjuk tebing terjal tersebut sebagai jalan keluar kami dari tempat ini untuk menuju ke Kaliurang, kami menganggap kang Tri guyon, menggoda kami. Lha wong ya dasari kang Tri seneng geguyonan….
Namun sambil tolah-toleh melihat ke kiri dan ke kanan, dan memang sama sekali tidak ada jalan lain, selain jalan dari mana kami tadi datang, yang berujung di dasar sungai tanpa ada jembatan. Ups…ketawa-ketawa kami berangsur-angsur melemah penuh was-was. Tetap saja sulit bagi kami untuk percaya ke kang Tri bahwa kami akan mendaki tebing yang bagi kami terlihat tegak 90 derajat berdiri membentengi sungai, yang tidak mungkin didaki. Apalagi sambil bawa sepeda.
Mas Hatma Mayong, salah satu teman kami mengatakan dulu memang ada jalan setapak, entah sekarang..ups….tenan to iki…Dan Kang Tri Lakone segera turun ke sungai, menyeberang menuju ke dasar tebing di seberang sungai, dan melambaikan tangan memberi tanda…” ya..ada jalan kita untuk naik …”….halah-halah…
Kami mendekat ke tempat kang Tri berdiri, dan memang ternyata ada jalur jalan setapak yang mendaki, hanya kelihatan pendek, karena terus berbelok di kerimbunan. Satu persatu kami naik mendaki jalan setapak yang mendaki tebing dengan menuntun sepeda, kemudian jalan berbelok tajam, dan terus mendaki, sesekali masuk ke semak-semak yang rimbun, namun bisa dilewati, dan terus berkelok dan mendaki, berkelok dan mendaki, berkelok dan mendaki, sampai kami benar-benar sulit untuk mempercayai, kami sudah tiba di puncak bukit di tempat yang datar dan nyaman, dan sudah tidak lagi kelihatan sungai yang tadi nampak begitu lebar. Kami berhasil mencapai puncak bukit. Aneh tapi nyata…masih belum sepenuhnya percaya 🙂
Tebing yang dari kejauhan kami kira tak memiliki jalan dan tak memungkinkan untuk dilewati, ternyata sesudah kami dekati, kami melihat ada jalan, dan ketika kami berani mendaki, kami bisa terus maju, naik dan lewati dengan relatif mudah hingga ke puncak.
Pelajaran memaknai hidup dari sadel sepeda
Sering saya merasa tak akan mampu untuk menjalani. Saat menghadapi suatu tantangan baru, yang menurut ukuran saya tantangan itu sangat berat dan tidak ada jalan keluarnya. Saya bisa memilih menghindari tantangan tersebut dan mundur. Dan saya akan tetap memandang tantangan tersebut sebagai suatu tantangan yang tidak ada solusinya. Dan kembali saya melalui pengalaman hidup sehari-hari yang biasa saya lakukan sebelumnya.
Namun kalau saya berani mendekat dan masuk kedalam tantangan tersebut, sangat mungkin saya menemukan jalan setapak seperti jalan di tebing di tepi Sungai Boyong, yang mungkin memang kecil, berliku dan mendaki, namun akan menuju ke penyelesaian yang indah. Dan saya akan memandang tantangan tersebut bukan lagi suatu tantangan yang berat, namun sesuatu yang memiliki jalan keluar yang takkan pernah saya lihat kalau saya tidak mendekat, masuk dan menyelaminya sebagai bagian dari peziarahan hidupku. Dan saya belajar serta mengalami hal baru yang menyenangkan.
Banyakan nuntun dibanding gowes. 🙂
Yang banyak ada dua mas Bagus: nuntun dan foto 🙂
Wah seru & menantang sekali, kapan-kapan bisa dicoba nyebrang kali Kuning, dari Kaliurang menuju Plunyon atau dari Plunyon lewat jalur sungai tembus jalan Kaliurang. Salam kenal
Mas Teguh…seru banget kalau dari Kaliurang bis tembus Plunyon atau kebalikannya dari Plunyon bisa tembus Kaliurang…Beberapa hari yang lalu kami ke Plunyon, terus balik ke jalan dimana kami datang…pingin tahu jalannya kalau bisa tembus…
Salam kenal mas Teguh..kapan-kapan gowes bareng.
Bisa tembus lewat dua jalur, naik bukit dengan nggendong sepeda atau turun ke sungai lalu lewat hutan bambu. kalau beruntung bisa bertemu bebagai burung liar atau ayam hutan juga.
top mas Teguh…